Dia
adalah seorang pemain basket handal di sekolah tempat dia belajar. Tak jarang
dia menjadi incaran para gadis. Namanya Ricky Armando, dia cowok berdarah
campuran antara Indo-Belanda. Hidungnya benar-benar sempurna, memiliki warna mata
biru yang menawan. Badan tegap tinggi, sesuai dengan profesi yang ditekuninya.
Kulit putih dan kadang kemerahan ketika matahari mengenai permukaannya. Tapi,
sampai tahun ketiga, dia belum pernah menggandeng pasangan, atau pacar.
“Rick,
nanti kau datang ke acara ulangtahun Amel?” tanya Faris, yang kebetulan
merupakan orang minang.
“Nggak
tau gue, Ris. Kenapa memangnya?” Ricky memang sudah fasih berbahasa Indonesia.
“Kan
Amel mengharapkan kau datang, Lae. Dia itu menyukaimu.” Ricky menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Kemudian dia meringis sendiri.
“Sudah,
aku capek. Aku duluan, Ris. Guys, gue duluan.” Ricky segera mengambil sepeda
motornya yang berada di tempat parkir. Pada saat dia keluar dari gerbang
sekolah, dia melihat sosok gadis yang sedang duduk sendiri di depan sebuah
warung yang sudah tutup. Hari itu sudah cukup sore. dia menghampiri gadis itu.
“La?
Sendirian?”
“Eh,
Ricky. Iya, nih. Kakakku ban sepeda motornya bocor. Jadi dia sedikit
terlambat.” Lola namanya, dia gadis yang hidupnya sederhana. Ricky cukup lama
mengenal Lola. Karena Lola memang baik. Dia sering membantu Ricky ketika dia
mengalami kesulitan belaajar di tahun-tahun pertama. Dan dari Lola lah, Ricky
belajar tentang menghargai orang dan menghargai apa yang dia miiki.
“Aku
antar kamu pulang aja. Udah mulai gelap. Kamu bilang sama kakak kamu, ya.”
“Tapi
nanti aku ngrepotin, Rick.” Ricky menggeleng keras. Lola akhirnya menuruti.
Selama perjalanan, mereka lebih bercerita tentang bertemunya mereka. Sebelum
bersekolah di tempat yang sama, mereka berdua pernah bertemu di sebuah
pagelaran seni. Mereka sama-sama menyukai bilik lukisan. Itu awal mereka
bertemu. Tak tahunya, mereka menjadi teman satu sekolah. Sampai juga di depan
rumah Lola yang sederhana. Tidak terlalu besar, tapi nyaman. Penuh pot-pot
bunga yang dirawat rapi. Ada sebuah ayunan kecil yang terletak di samping kolam
ikan kecil.
“Aku
sampai lupa kapan terakhir kali ke sini, La.” Keduanya terkekeh kecil.
“Kamu
sekarang jadi orang sibuk, Rick. Kamu nggak datang diacara ulangtahunnya Amel?”
“Kamu
diundang?” Lola menggeleng.
“Kalau
nggak ada kamu, aku nggak akan datang, La.” Lola hanya tersenyum tersipu. Dia
nggak mau besar kepala, takut nanti dia akan terjatuh sendiri dan sakit. Lola
ijin untukmasuk ke dalam rumah dan Ricky juga kembali ke rumahnya. Di
perjalanan, Ricky tersenyum-senyum sendiri dan memacu sepeda motornya dengan
gesit. Sampai di rumah, mamanya menyambutnya dengan cemas.
“Where
are you? Mama telfonin kenapa nggak diangkat?”
“Calm
down, Mom. Handphone aku di tas. Tadi nganter Lola dulu pulang.” Mamanya sudah
tahu perihal Lola. Ricky tipe cowok yang lebih suka curhat dengan mamanya
ketimbang dengan papanya. Karena sama sekali tidak nyambung. Dan mamanya bisa
menangkap, anaknya itu tertarik dengan Lola. Lagipula, menurut beliau, Lola
adalah gadis yang baik dan rajin, karena memang Ricky sudah memperkenalkan Lola
padanya. Ricky memutuskan untuk segera mandi dan pergi makan malam. Papanya
atau Daddynya sedang tidak berada di rumah karena urusan bisnis. Papanya
merupakan seorang yang berpengaruh. Pekerjaannya yang membuatnya bisa mencukupi
kebutuhan keliarganya, bahkan lebih. Mama Ricky sering menceritakan masa
mudanya dengan papanya. Romantis.
“Ma,
aku nggak mungkin bisa seperti kalian. Itu kan dulu. Sekarang jamannya sudah
lebih modern.” Ricky hanya tinggal berdua dengan mamanya. Dia belum memiliki
adik lagi. Padahal usia mamanya masih dibilang belum terlalu tua untuk memiliki
anak lagi. Tapi Ricky menyadari ada yang janggal dari sikap mamanya. Mama mulai
sering memperhatikan pola makan, pola tidur, dan lainnya. “Mom, are you
pregnant?” Mamanya langsung terperanjat.
“How
you know, Darl?”
“Feeling.
Congrats.” Ricky beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri mamanya untuk
memberikan pelukan. Tak tahu mengapa, mamanya menangis. Ya, menangis bahagia.
“Oh,yes! Aku bakalan punya adik baru.” Seperti anak kecil yang senang mendapat
mainan baru, ekspresi Ricky benar-benar senang. Selesai makan dan membereskan
piring-piring, dia meminta mamanya untuk beristirahat. Sedangkan Ricky menuju
halaman belakang dan meraih handphonenya. Dengan lincah jarinya menekan
tombol-tombol.
Lola,
i have goodthing. My mom is pregnant. I will have a little brother or sister.
Are you happy?
Dia
sering menulis sms menggunakan bahasa inggris hanya dengan Lola. Kemudian
mendapatkan balasan.
Are
you serious? Oh, i am so happy. Congrats, Rick. You will be a big brother. We
must celebrate it.
Ricky
membalas lagi.
It’s
good idea. See you at school.
Kemudian
Ricky memutuskan untuk tidur. Keesokan paginya, dia sangat ceria, lain dari
biasanya. Sebelum berangkat dia mencium kening mamanya dan mengelus perutnya.
Dia akan mempunyai seorang adik.
Sesampainya di sekolah, belum sempat dia meletakkan tas di bangkunya,
ada seseorang menarik tangannya sehingga tubuhnya berbalik.
“Kenapa
semalam kamu nggak datang, Rick? Aku kan sudah memberimu undangan.” Ternyata
itu Amel. Yang semalam merayakan ulang tahun ke-17.
“Maaf,
aku lelah, Mel.”
“Lelah?
Lelah karena mengantar Lola, kan?”
“Kenapa
dia ikut terlibat?”
“Karena
memang begitu keadaannya. Kamu lebih memilih dia daripada aku. Rick, apa sih
lebihnya Lola?” Ricky mengernyitkan dahinya. Bukan dia berpikir tapi menganggap
pertanyaan Amel sangat kurang masuk akal.
“Sepertinya
pembicaraan sudah cukup. it’s not connected with her. Don’t blame her.” Ricky
mencoba meghindar, tapi tetap dicegah oleh Amel yang tiba-tiba menggamit
lengannya dan terlihat seperti berpelukan. Sebelum disadari oleh orang-orang,
Ricky melepaskan pegangan Amel.
“You
act too much.” Ricky pergi. Ketika dia mendekati pintu keluar,
“Dia
benar, Rick. Apa lebihku.” Ternyata Lola. Dia menyaksikan yang terjadi. Ricky
terlihat menahan rasa bersalah, sedih, dan menyesal. Seharusnya dia tidak
melihat semuanya.
“Ini
bukan masalah lebih yang kamu punya, La.”
“Aku
tidak cantik. Aku tidak kaya. Aku tidak gaul. Sama sekali tak bisa dibanggakan
sebagai seorang wanita.” Ricky berjalan mendekati Lola yang bersandar ditembok
sambil menatap langit-langit koridor. Dia berdiri dihadapan gadis yang sudah
lama dekat dengannya itu.
“Bukan
secara fisik. Tapi ini.” kata Ricky sambil memegang dadanya, “Hati dan rasa,”
lanjutnya sambil tersenyum. Senyum khas yang sering dilihat oleh Lola. “Rasa
tak bisa dipaksakan. Kalau nggak suka, lebih baik bilang nggak suka. Dan rasa
itu sama sekali tak bisa ditutupi bagaimanapun caranya.”
Lola
menghela nafas panjang. Dan mengubah posisi hadapnya menatap wajah Ricky yang
ada di hadapannya lekat-lekat.
“Apa
aku terlalu tinggi, membayangkan kalau kamu nanti jadi pacarku, Rick?” Sontan
Ricky tertawa terkekeh mendengar pertanyaan lugu dari mulut Lola. Lola pun
menyadari kebodohannya menanyakan hal demikian, ikut tertawa terkekeh. “Maaf,
aku ceroboh, terlalu jujur.”
“Bukan
ceroboh, La. Tapi kamu memang tidak bisa menutupi rasa itu.” Hening sejenak.
“Itu bukan bayangan yang tinggi. Karena itu mungkin terjadi.” Ricky tersenyum
penuh misteri. Membuat batin Lola bertanya-tanya. Sebenarnya, Ricky bisa saja
mengucapkan saat itu juga, tapi ini belum saat yang tepat, menurutnya.
Teng...teng.. Bel masuk telah berbunyi. Mereka berdua berpisah untuk memasuki
kelas masing-masing. selama [elajaran berlangsung, keduanya sama sekali tidak
bisa berkonsentrasi pada materi yang diajarkan. Mereka lebih sering
senyum-senyum sendiri. tak terasa jam pulang tiba, karena ada rapat guru, murid
pulang lebih awal. Lola bersiap mengemas buku-bukunya. Saat dia akan berdiri,
Amel mendorong pundaknya sehingga terduduk lagi.
“Amel?
Kenapa?”
“Jangan
pura-pura bodoh, La. Jauhi Ricky!”
“Kenapa
aku harus melakukannya?”
“Dia
tidak cocok bersamamu! Sadar diri, dong!” Amel melakukan gertakan. Tiba-tiba,
dari arah belakang,
“Dia
tak harus menjauhiku. Kalaupun dia yang menjauh, aku yang mendekat. Ayo, La.
Kita pulang.” Ricky meraih tangan Lola dan membawanya serta. Wajah amel merah
padam. Malu, kesal, dan marah. Bagaimana tidak, kejadian itu dilihat anak-anak
satu kelas.
“Rick,
maksudnya kalau aku menjauh, kamu yang mendekat? Itu apa?” Tiba-tiba Ricky
mengusap rambut Lola dengan pelan.
“Dasar,
polos. Maksudnya, ya, aku yang mengejarmu. Mengejarmu sampai dapat.” Ricky dan
Lola terkekeh lagi. Entah apa yang lucu, tapi yang jelas mereka tertawa
bersama. Hari ini hari Sabtu. Biasanya anak muda pergi untuk nongkrong atau
sekedar menghabiskan waktu di mall. Ricky punya rencana lain. Malam harinya,
tepat pukul 19.00, dia menjemput Lola. Lola sudah mempersiapkan diri. Dengan
kaos t-shirt pink yang tidak terlalu ketat. Celana jins panjang dan jaket.
“Waw,
kamu kelihatan beda. Terlihat lebih ...”
‘Gaul?”
Keduanya tertawa bersamaan. Ricky melajukan kendaraannya dengan kecepatan
sedang. Selama perjalan Lola selalu menanyakan dimana tujuan mereka, namun
Ricky enggan menjawabnya. Benar-benar membuat Lola penasaran. Akhirnya mereka
tiba disuatu tempat yang asing bagi Lola. Tempatnya sedikit gelap dan sepi.
“Kita
mau ngapain di sini, Rick? Gelap-gelapan begini.”
“Ssst,
sekarang kamu tutup mata. Dan jangan berani-berani untuk mengintip. Aku yang
akan menuntunmu berjalan. Kamu percaya aku, kan?”
“Kamu
ngomongnya panjang banget, Rick. Iya, aku percaya.” Lola lalu menutup matanya.
Mereka berdua jalan berdampingan. Lola memegang lengan Ricky agar tidak
tersandung dan ricky menuntunnya dengan hati-hati. Memang agak sedikit licin
mungkin sisa hujan kemarin. Langkah Ricky berhenti. Lola pun berhenti.
“Udah
sampai?” tanya Lola yang masih menutup mata.
“Sebentar.
Kamu diam dulu. Aku ke depan sebentar. Jangan buka mata.”
“Eh,
awas jangan macam-macam.” Ricky berjalan ke depan. Meninggalkan Lola yang masih
menutup matanya.
“Kamu
dengar suaraku, La?”
“Iya,
Rick. Tapi jauh.”
“Kamu
bisa jalan kesini? Tapi , mata kamu harus tetap tertutup. Ikuti saja suaraku.”
Lola menghela nafas. Dia mengambil langkah pertama. Dia berjalan menuju suara
Ricky yang menyebutkan namanya berulang kali. Kadang samar. Kadang jelas. Dia
berhenti sejenak, bukan menyerah. Dia mengambil nafas lagi dan mulai melangkah.
Tap..tap..tap.. Lola berhenti. Dia merasakan di depannya ada hembusan kecil dan
suara ...
“Lola...”
Lola berhasil sampai. “Kamu boleh buka mata.” Dan benar. Keduanya saling
berhadapan. Lalu Lola mengerjap-kerjapkan matanya yang masih gelap. Dan dia
melihat pemandangan yang luar biasa. Lampu-lampu berkelip-kelip. Ada sebuah
meja makan beserta dua buah kursi dan makanan.
“Ricky?”
“Iya?
Ini buat kita. Kan mau ngerayain kabar gembira semalam. Oh,ya, kamu bisa sampai
di depanku, bagaimana?”
“Merasakan.
Aku tadi sempat mau menyerah. Tapi, aku nggak mau.”
“Kenapa?”
“Harus
dijawab?” Keduanya terkekeh lagi.
“Lola,
aku sayang sama kamu. Kamu mau, jadi pacar aku? Hmm...untuk saat ini pacar.
Tapi untuk kehidupan kedepan, kamu mau menungguku untuk melamarmu?” Lola
tiba-tiba menjitak kepala Ricky.
“Dodol.
Kita masih kecil. Kok udah bahas melamar.”
“Kan
rencana, Sayang. Ups. Kamu kan belum jawab, ya.” Ricky menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
“Jawabannya.
Iya. Aku mau, Ricky jelek.” Lola melonjak merangkul leher Ricky karena dia
lebih tinggi. Ricky mencium kening Lola dengan lembut. Kemudian mereka
melanjutkan dengan makan malam. Kini mereka adalah sepasang kekasih. Dan
disatukan oleh rasa yang sama. Inilah kekuatan rasa. J happi ending dong ^^
1/03/2013
nim
-