Bukan berbeda secara fisik, tapi
pemikiran. Itulah kami, serupa tapi tak sama. Aku Aurel Micha Singgih dan
saudara kembarku Aulia Mirha Singgih, kami kembar identik. Hanya aku lebih
tinggi 2 cm dari dia. Kami sama-sama sudah menginjak usia 20 tahun, usia yang cukup
bisa berfikir secara dewasa. Tapi tidak dengan Irha, saudara kembarku ini
amatlah manja.
Kadang aku merasa seperti anak tiri,
karena Irha yang sering dimanjakan. Sedangkan aku harus berusaha sendiri untuk
mendapatkan apa yang ku mau. It’s ok, aku yang lebih tua beberapa menit dari
dia. Tapi apa harus berbeda seperti ini? Kami sama-sama berkuliah di salah satu
Universitas Negeri ternama di kota Jakarta ini. Hanya kami berbeda jurusan. Aku
lebih menikmati berada dijurusan seni dan sastra, karena aku suka hal yang
berbau seni. Sedangkan Irha, dia lebih suka jurusan hukum, karena memang anak
hukum terkenal dengan kemodisannya.
Bukan berarti aku suka serampangan,
tapi aku lebih banyak melakukan aktivitas di luar daripada harus berlindung di
bawah pohon karena takut hitam tersengat panas.
“Cha, aku minjem mobil dong. Bensin aku
belum diisi sama pak Ujo.” Irha mengulirkan telapak tangannya. Dan seharusnya
dia memanggilku kakak.
“Rha, bisa beli sendiri, kan. Pom bensin
juga gak begitu jauh. Kasihan pak Ujo. Dia udah capek nganter mama ke
mana-mana.” Mendengar jawabanku Irha bersungut-sungut.
“Ah, bilang aja pelit. Cuma dipinjam
sebentar. Nanti kuganti bensinnya.”
“Bukannya kakak pelit, tapi kakak
juga butuh mobil buat pergi ke toko buku.”
“Buku lagi, buku lagi. Bener-bener,
deh, kutu buku!” Aku sama sekali tak suka dengan ekpresi wajah Irha. Meskipun ketika
aku berkaca, akan serupa, tapi tidak seperti sekarang. Bibirnya ditekuk. Sepertinya
mama mendengar keributan kecil ini.
“Icha, ngalah dong sama adek kamu. Kalian
tukar mobil dulu kan gak masalah juga.” Mama terlalu memanjakan Irha. Aku mengambil
kunci mobilku dari saku jinsku. Irha melonjak kegirangan dan memeluk mama. Aku tersenyum
kecut.
“Makasih, Kak Icha. Nanti kubalikin. Tolong
isiin bensinnya, ya. Dah, Ma!” Irha berlalu dari hadapanku dengan senangnya. Setelah
beberapa menit,
“Terus aja mama bela Irha. Mau sampai
kapan mama sama papa berlaku adil sama Icha!” Aku meninggalkan mama yang
terbengong sendiri. Aku mengetik pesan kepada seorang temanku.
Bisa jemput nggak, Mel? Gue stuk di
rumah.
Mellisa adalah salah satu kawan
terbaik yang pernah aku jumpai. Dia selalu ada sewaktu aku membutuhkannya. Apalagi
ketika aku merasakan ketidakadilan ini. Tring, satu pesan masuk.
Dengan senang hati,beb. Wait ya. Sabar
:*
Aku bernafas lega. Aku juga gak mau niatku
untuk ke toko buku terhalang. Selama menunggu Mellisa datang, aku berfikir
tentang Irha. Dia sewaktu kecil sering merepotkanku. Selalu ingin dengan apa
yang kupunya, padahal dia punya yang lebih baik. Dan terpaksa aku memberikan
milikku. Aku selalu mengalah.
Jemputanku datang, aku hanya
berpamitan ala kadarnya pada mama. Aku masih terlalu marah untuk berbaik hati. Di
dalam mobil Mellisa, airmataku langsung mengucur. Dia menawari sehelai sapu
tangan.
“Cha, lo yang sabar, ya. Nanti bakal
indah kok pada waktunya. Percaya kan ama gue?” Aku menyeka airmataku dan
mengangguk pelan.
“Makasih, Mell.” Akhirnya kami sampai
juga disebuah toko buku yang sedang mengadakan SALE besar-besaran. Aku tak mau
melewatkan kesempatan ini. Untung aku punya uang tabungan sendiri diluar uang
bulanan yang diberikan kedua orangtuaku. Tentunya tidak sebesar dengan uang
jatah Irha.
Saat memilih buku, tak sengaja aku
menyentuh tangan seorang cowok yang ingin mengambil buku yang sama.
“Eh, sori. Kalau kamu mau ambil,
ambil aja.” Dia mengalah, buku itu memang masih sisa satu saja. Dan aku sudah
mengidamkannya lama sekali.
“Beneran gak papa? Ini limited loh.” Aku
menanyakan kembali. Dia mengangguk mantap. Yes! Aku berseru dalam hati. Cowok ini
mengalah untukku. Hebat, kan ya. Aku menuju meja kasir dengan riang. Aku mendapatkan
buku idamanku dan memperoleh kenalan baru. Namanya Bintang.
Setelah perkenalan singkat itu, aku
sering bertemu dengannya ditempat yang sama. Aku juga sudah bercerita banyak
tentang diriku dan sekelilingku, terutama tentang saudara kembarku. Dia sedikit
terkejut kalau aku memiliki saudara kembar.
“Kamu punya saudara kembar? Hebat. Seperti
apa dia?”
“Hampir mirip denganku. Hanya saja,
kami memiliki sifat yang berbeda.” Aku semakin dekat dengan Bintang. Aku menemukan
yang namanya ‘bahagia’ diluar rumah. Karena di dalam rumah ini, aku sama sekali
tidak bahagia. Kedua orangtuaku semakin memanjakan Irha.
“Cha, kamu kok sering keluar terus?”
Mama membuka pembicaraan saat itu sedang makan malam. Aku lihat Irha akan
menyahut, tapi aku mendahuluinya,
“Aku ada tugas buat sinopsis. Butuh buku.
Jadi aku pergi ke toko buku.”
“Dasar kakak boros. Uangnya dipakai
buat beli buku terus. Gak berguna, kan. Ya, kan, Ma?” Jawaban Irha membuat
moodku hilang. Perut yang aslinya lapar mendadak kenyang.
“Kalian sama sekali gak pernah hargai
Icha sedikitpun. Icha kenyang.” Kulihat Irha tersenyum riang. Seolah-olah aku
melihat bayangan wajahku yang menyeringai, tapi itu bukan aku.
Yang kutakutkan selama ini benar
terjadi, ketika aku memperkenalkan Bintang kepada kedua orangtuaku, Irha mulai
merengek kepada mamaku serta papaku. Lalu mamaku mendekati Bintang dan meminta
untuk berkenalan dengan Irha. Bintang yang tak tahu apa-apa mengikuti kata
mamaku. Dia menjabat tangan Irha dan Irha sangat bahagia. Dia langsung mengapit
lengan Bintang, di depanku. Bintang segera melepaskan tangan Irha dan berbalik
padaku.
Lalu aku mengajak Bintang untuk
keluar rumah. Dia menggenggam tanganku erat, aku menangis dilengannya. Dia mengusap
rambutku lembut.
“Sayang, kamu tenang aja. Aku cuma
buat kamu.” Bintang pamit pulang. Aku memasuki rumah,
“Cha, kenapa kok dia pulang? Gak boleh
kenalan sama adekmu, ya?”
“Buat apa aku kenalin dia ke Irha,
Ma? Biar Irha bisa pegang tangan Bintang lama-lama?” Aku menatap Irha dengan
tatapan yang paling kejam yang pernah kulakukan.
“Kalian selalu memanjakan Irha. Apa yang
kupunya, harus jadi milik dia. Ini soal perasaan, Ma, Pa. Hargai aku. Aku juga
anak kalian. Aku gak berbeda dari Irha. Aku sama dia SAMA! Kami serupa, tapi
kami BERBEDA SIFAT!!” Aku benar-benar menangis keras. Aku mengunci diri di
kamar. Aku menghadap ke kaca dan memaki-maki diriku sendiri. Kenapa mereka
membiarkanku hidup kalau aku haus menerima semua ini. Dan ini sudah
keterlaluan. Aku mengemas semua bajuku dalam dua buah tas besar. Yang kutinggal
hanya beberapa boneka. Lalu aku keluar kamar.
“Mau kemana kamu, Cha?” tanya papa
sedikit cemas melihatku membawa dua buah tas besar.
“Peduli apa kalian? Aku matipun gak
masalah. Masih ada Irha. Makasih udah ngerawat Icha sampai sekarang. Lebih baik
Icha pergi. Dan Rha, jaga mama papa.” Irha membelalakan matanya, dia tampak
kaget dengan keputusanku.
“Kak Icha, jangan pergi. Irha mohon.”
“Kenapa? Bukannya kamu bisa segala
hal? Kamu udah dapatin semua yang kamu mau.”
“Aku gak bisa, Kak. Maafin Irha,
maaf. Irha salah. Maafin aku, Kak.” Aku melihat dia menangis, seperti melihat
diriku dipantulan kaca. “Irha janji, aku bakal berubah. Ma, Pa, tolong jangan
biarin kak Icha pergi. Kak Icha selalu ngalah buat Irha, aku yang keterlaluan.”
“Icha, maafin Mama sama Papa, ya. Kamu
juga anak kami. Mama minta maaf.” Orang yang kusayangi menangis di hadapanku. Aku
melepaskan peganganku pada kedua tasku, aku merangkul mereka.
“Icha sayang sama kalian. Sayang banget.”
Aku Icha dan saudara kembarku, Irha,
adalah kembar identik. Serupa. Tapi kami berbeda. Ya berbeda. Berbeda pilihan
mengenai jalan hidup. Tapi kita sama. Kita sama, sama berjuang membahagiakan
mama papa.
28-02-2013