Thursday, February 28, 2013

Dua Yang Bebeda


Bukan berbeda secara fisik, tapi pemikiran. Itulah kami, serupa tapi tak sama. Aku Aurel Micha Singgih dan saudara kembarku Aulia Mirha Singgih, kami kembar identik. Hanya aku lebih tinggi 2 cm dari dia. Kami sama-sama sudah menginjak usia 20 tahun, usia yang cukup bisa berfikir secara dewasa. Tapi tidak dengan Irha, saudara kembarku ini amatlah manja.
Kadang aku merasa seperti anak tiri, karena Irha yang sering dimanjakan. Sedangkan aku harus berusaha sendiri untuk mendapatkan apa yang ku mau. It’s ok, aku yang lebih tua beberapa menit dari dia. Tapi apa harus berbeda seperti ini? Kami sama-sama berkuliah di salah satu Universitas Negeri ternama di kota Jakarta ini. Hanya kami berbeda jurusan. Aku lebih menikmati berada dijurusan seni dan sastra, karena aku suka hal yang berbau seni. Sedangkan Irha, dia lebih suka jurusan hukum, karena memang anak hukum terkenal dengan kemodisannya.
Bukan berarti aku suka serampangan, tapi aku lebih banyak melakukan aktivitas di luar daripada harus berlindung di bawah pohon karena takut hitam tersengat panas.
“Cha, aku minjem mobil dong. Bensin aku belum diisi sama pak Ujo.” Irha mengulirkan telapak tangannya. Dan seharusnya dia memanggilku kakak.
“Rha, bisa beli sendiri, kan. Pom bensin juga gak begitu jauh. Kasihan pak Ujo. Dia udah capek nganter mama ke mana-mana.” Mendengar jawabanku Irha bersungut-sungut.
“Ah, bilang aja pelit. Cuma dipinjam sebentar. Nanti kuganti bensinnya.”
“Bukannya kakak pelit, tapi kakak juga butuh mobil buat pergi ke toko buku.”
“Buku lagi, buku lagi. Bener-bener, deh, kutu buku!” Aku sama sekali tak suka dengan ekpresi wajah Irha. Meskipun ketika aku berkaca, akan serupa, tapi tidak seperti sekarang. Bibirnya ditekuk. Sepertinya mama mendengar keributan kecil ini.
“Icha, ngalah dong sama adek kamu. Kalian tukar mobil dulu kan gak masalah juga.” Mama terlalu memanjakan Irha. Aku mengambil kunci mobilku dari saku jinsku. Irha melonjak kegirangan dan memeluk mama. Aku tersenyum kecut.
“Makasih, Kak Icha. Nanti kubalikin. Tolong isiin bensinnya, ya. Dah, Ma!” Irha berlalu dari hadapanku dengan senangnya. Setelah beberapa menit,
“Terus aja mama bela Irha. Mau sampai kapan mama sama papa berlaku adil sama Icha!” Aku meninggalkan mama yang terbengong sendiri. Aku mengetik pesan kepada seorang temanku.
Bisa jemput nggak, Mel? Gue stuk di rumah.
Mellisa adalah salah satu kawan terbaik yang pernah aku jumpai. Dia selalu ada sewaktu aku membutuhkannya. Apalagi ketika aku merasakan ketidakadilan ini. Tring, satu pesan masuk.
Dengan senang hati,beb. Wait ya. Sabar :*
Aku bernafas lega. Aku juga gak mau niatku untuk ke toko buku terhalang. Selama menunggu Mellisa datang, aku berfikir tentang Irha. Dia sewaktu kecil sering merepotkanku. Selalu ingin dengan apa yang kupunya, padahal dia punya yang lebih baik. Dan terpaksa aku memberikan milikku. Aku selalu mengalah.
Jemputanku datang, aku hanya berpamitan ala kadarnya pada mama. Aku masih terlalu marah untuk berbaik hati. Di dalam mobil Mellisa, airmataku langsung mengucur. Dia menawari sehelai sapu tangan.
“Cha, lo yang sabar, ya. Nanti bakal indah kok pada waktunya. Percaya kan ama gue?” Aku menyeka airmataku dan mengangguk pelan.
“Makasih, Mell.” Akhirnya kami sampai juga disebuah toko buku yang sedang mengadakan SALE besar-besaran. Aku tak mau melewatkan kesempatan ini. Untung aku punya uang tabungan sendiri diluar uang bulanan yang diberikan kedua orangtuaku. Tentunya tidak sebesar dengan uang jatah Irha.
Saat memilih buku, tak sengaja aku menyentuh tangan seorang cowok yang ingin mengambil buku yang sama.
“Eh, sori. Kalau kamu mau ambil, ambil aja.” Dia mengalah, buku itu memang masih sisa satu saja. Dan aku sudah mengidamkannya lama sekali.
“Beneran gak papa? Ini limited loh.” Aku menanyakan kembali. Dia mengangguk mantap. Yes! Aku berseru dalam hati. Cowok ini mengalah untukku. Hebat, kan ya. Aku menuju meja kasir dengan riang. Aku mendapatkan buku idamanku dan memperoleh kenalan baru. Namanya Bintang.
Setelah perkenalan singkat itu, aku sering bertemu dengannya ditempat yang sama. Aku juga sudah bercerita banyak tentang diriku dan sekelilingku, terutama tentang saudara kembarku. Dia sedikit terkejut kalau aku memiliki saudara kembar.
“Kamu punya saudara kembar? Hebat. Seperti apa dia?”
“Hampir mirip denganku. Hanya saja, kami memiliki sifat yang berbeda.” Aku semakin dekat dengan Bintang. Aku menemukan yang namanya ‘bahagia’ diluar rumah. Karena di dalam rumah ini, aku sama sekali tidak bahagia. Kedua orangtuaku semakin memanjakan Irha.
“Cha, kamu kok sering keluar terus?” Mama membuka pembicaraan saat itu sedang makan malam. Aku lihat Irha akan menyahut, tapi aku mendahuluinya,
“Aku ada tugas buat sinopsis. Butuh buku. Jadi aku pergi ke toko buku.”
“Dasar kakak boros. Uangnya dipakai buat beli buku terus. Gak berguna, kan. Ya, kan, Ma?” Jawaban Irha membuat moodku hilang. Perut yang aslinya lapar mendadak kenyang.
“Kalian sama sekali gak pernah hargai Icha sedikitpun. Icha kenyang.” Kulihat Irha tersenyum riang. Seolah-olah aku melihat bayangan wajahku yang menyeringai, tapi itu bukan aku.
Yang kutakutkan selama ini benar terjadi, ketika aku memperkenalkan Bintang kepada kedua orangtuaku, Irha mulai merengek kepada mamaku serta papaku. Lalu mamaku mendekati Bintang dan meminta untuk berkenalan dengan Irha. Bintang yang tak tahu apa-apa mengikuti kata mamaku. Dia menjabat tangan Irha dan Irha sangat bahagia. Dia langsung mengapit lengan Bintang, di depanku. Bintang segera melepaskan tangan Irha dan berbalik padaku.
Lalu aku mengajak Bintang untuk keluar rumah. Dia menggenggam tanganku erat, aku menangis dilengannya. Dia mengusap rambutku lembut.
“Sayang, kamu tenang aja. Aku cuma buat kamu.” Bintang pamit pulang. Aku memasuki rumah,
“Cha, kenapa kok dia pulang? Gak boleh kenalan sama adekmu, ya?”
“Buat apa aku kenalin dia ke Irha, Ma? Biar Irha bisa pegang tangan Bintang lama-lama?” Aku menatap Irha dengan tatapan yang paling kejam yang pernah kulakukan.
“Kalian selalu memanjakan Irha. Apa yang kupunya, harus jadi milik dia. Ini soal perasaan, Ma, Pa. Hargai aku. Aku juga anak kalian. Aku gak berbeda dari Irha. Aku sama dia SAMA! Kami serupa, tapi kami BERBEDA SIFAT!!” Aku benar-benar menangis keras. Aku mengunci diri di kamar. Aku menghadap ke kaca dan memaki-maki diriku sendiri. Kenapa mereka membiarkanku hidup kalau aku haus menerima semua ini. Dan ini sudah keterlaluan. Aku mengemas semua bajuku dalam dua buah tas besar. Yang kutinggal hanya beberapa boneka. Lalu aku keluar kamar.
“Mau kemana kamu, Cha?” tanya papa sedikit cemas melihatku membawa dua buah tas besar.
“Peduli apa kalian? Aku matipun gak masalah. Masih ada Irha. Makasih udah ngerawat Icha sampai sekarang. Lebih baik Icha pergi. Dan Rha, jaga mama papa.” Irha membelalakan matanya, dia tampak kaget dengan keputusanku.
“Kak Icha, jangan pergi. Irha mohon.”
“Kenapa? Bukannya kamu bisa segala hal? Kamu udah dapatin semua yang kamu mau.”
“Aku gak bisa, Kak. Maafin Irha, maaf. Irha salah. Maafin aku, Kak.” Aku melihat dia menangis, seperti melihat diriku dipantulan kaca. “Irha janji, aku bakal berubah. Ma, Pa, tolong jangan biarin kak Icha pergi. Kak Icha selalu ngalah buat Irha, aku yang keterlaluan.”
“Icha, maafin Mama sama Papa, ya. Kamu juga anak kami. Mama minta maaf.” Orang yang kusayangi menangis di hadapanku. Aku melepaskan peganganku pada kedua tasku, aku merangkul mereka.
“Icha sayang sama kalian. Sayang banget.”
Aku Icha dan saudara kembarku, Irha, adalah kembar identik. Serupa. Tapi kami berbeda. Ya berbeda. Berbeda pilihan mengenai jalan hidup. Tapi kita sama. Kita sama, sama berjuang membahagiakan mama papa.

28-02-2013

Apa mimpiku ?


 Apa mimpiku? Pertanyaan yang selalu berputar diotakku. Pernah aku bermimpi memiliki segudang mainan, itu ketika aku berumur masih sangat kecil. Aku pengen kamarku penuh dengan boneka barbie. Mulukkah? Tidak, itu wajar bagi seorang anak kecil yang belum mengerti apapun tentang kehidupan yang sebenarnya. Sekarang aku kuliah, sudah semester tua. Tujuanku kuliah untuk mewujudkan mimpi atau hanya mencari gelar. Karena aku benar-benar tidak menikmati segala prosesnya. Terpaksa? Mungkin. Aku tidak bisa sebebas dulu. Bisa ke mana pun. Melakukan apapun. Sekarang penuh dengan batasan. Mungkin karena efek ‘disesatkan’ oleh seorang yang dulu kuanggap penting. Sudah. Ini terlanjur.
“Mon, gimana tugasmu?”
“Jangan tanya soal tugas plis. Aku sama sekali belum menyentuhnya. Otakku terlalu lelah.” Aku memang tipe pemikir, tapi jarang kulakukan. Ya, itu kesalahanku. Kulihat teman-teman sebayaku sudah berpenampilan lebih dewasa sesuai dengan usia mereka. Menjaga penampilan mereka seanggun mungkin dan menunjukkan mereka sudah berkuliah. Sedangkan aku? Hanya berkaos oblong diselimuti jaket, sepatu sport, celana jins, dan sebuah tas ransel. Sama sekali tak ada sisi wanita. Oke, aku malas berdandan karena itu amat sangat RIBET.
Aku suka duduk di bagian tengah, tidak di belakang, tidak di depan. Dan aku berusaha buat fokus ke depan, tapi pikiranku melayang-layang.
“Aku ngantuk nih. Laper lagi. Nanti ke kantin, yok.” Tanpa ragu aku mengiyakan ajakan temanku itu. Kami suka pergi makan bareng. Nggak hanya berdua. Aku berpikir, suasana di kantin itu lebih enak daripada di kelas. Dan kalau disuruh memilih, aku lebih suka di rumah daripada harus di kampus. Aku memang anak yang lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptop. Entah itu mendengarkan lagu, iseng, atau main game.
Saat di kantin, aku mengaduk-aduk nasi berkuah yang ku pesan tadi, sedangkan gelas es teh ku hanya tinggal setengah, maklum cuaca hari ini sangat panas. Aku lebih mati kelaparan daripada mati kehausan. Aku makan dengan amat malas, padahal nasi masih banyak.
“Mon, kamu kenapa, he? Kok akhir-akhir ini sering murung?” tanya Panda, nama yang unik memang, tapi itu benar-benar namanya. Dia salah satu sahabat yang setia menemaniku di kantin. Ya, kami suka jajan.
“Ha? Aku nggak papa. Cuma agak suntuk sama semuanya. Monoton. Kangen ama kehidupanku sebelum ini.”
“Ada apa dengan kehidupanmu dulu?” Aku membenarkan posisi dudukku untuk lebih tegak.
“Huft, dulu ... Ya berbeda dari sekarang. Aku bisa melakukan apa yang mau. Aku bisa menumpahkan seluruh bakatku. Sekarang, sama sekali nggak ada waktu untuk itu semua.”
“Hobi maksudmu?”
“Ya, begitulah. Aku dulu sangat mencintai basket, musik, dan ... menulis.” Aku tertunduk. Aku benar-benar rindu saat aku menulis. Sewaktu SD aku sudah membuat karyaku. Hanya bermodal buku bercorak mickey mouse kecil, aku menulis sebuah cerita. Aku masih ingat betul. Tapi buku itu hilang entah kemana. Padahal itu hasil pertamaku. Ketika menginjak SMP, aku membuat cerita sampai 7 buku tulis dan belum ada endingnya. Dan teman-temanku sudah membacanya dan selalu menantikan update ceritanya. Masih sama topiknya, cinta. Aku memang tergolong memiliki imajinasi yang terlalu banyak. Tapi susah untuk meluapkan dalam bentuk tulisan. Saat SMA, kemampuan ku menulis cukup membaik. Aku mengetahui bagaimana cara menulis yang benar. Sayangnya, tulisan-tulisanku tersimpan di sebuah komputer dan komputer itu sekarang telah rusak. Aku ingat, judul-judul karyaku diilhami dari judul lagu yang sedang nge-hits dimasa itu.
Kemudian, aku memiliki teman sebangku yang sama sepertiku. Memiliki imajinasi yang tinggi. Setelah membaca buku Harry Potter, imaji kami berdua meluncur. Kami mempunyai pemikiran sama. Dan kami membuat sebuah judul buku fiksi. Menulis secara bergantian, menyamakan alur cerita, ahh ... Lamunanku pecah ketika si Panda menggoyangkan pundakku.
“Malah ngelamun. Yok masuk lagi. Udah jamnya, nih.” Aku menghela nafas sangaaat panjaaang. Rasanya aku seperti disuruh berjalan di tepi tebing yang curam. Oh, Tuhan, aku lelah. Kuliah yang terakhir ini pun berlangsung sangat lama. Aku hanya memperhatikan dengan tatapan mata kosong. Antara mengerti dan tidak. Aku lebih memilih bermain handphone yang telah kubeli dengan uang tabunganku ini. Kubuka, ada satu pesan.
Sayang, aku kangen. Nanti pulang kuliah jam berapa? On ya :* ~
Aku tersenyum tipis. Dia yang memanggilku sayang adalah pacarku yang baru. Setelah aku bisa melupakan kenangan pahit dulu. Dia yang menyembuhkan. Masih berondong, tapi dia lebih bisa bersikap. Aku yang selalu bersikap seperti anak kecil.
Aku juga kangen sayang. Sebentar lagi pulang. Sebenernya aku malah pengen bolos. Haha :p. Lagi apa cinta? ~
Hapeku bergetar lagi,
Ih, bandel to. Kuliah yang rajin. Cepat lulus. Cepat kita menikah :* ~
Aku sungguh bahagia. Kalian tau? Hanya dia yang bisa menjadi semangat dalam hidupku. Entah kenapa, aku yakin kami benar-benar jodoh. Pertemuan singkat dan terlihat konyol. Aku kembali lagi berpikir. Aku kuliah untuk siapa, ya untuk membahagiakan orang yang menyayangiku. Papa, mama, kakak, teman, dan dia. Aku ingin mewujudkan mimpi-mimpiku. Kelak aku lulus, aku akan jadi orang sukses. Dengan atau tidak bekerja pada bidang yang kutekuni sekarang. Kuikuti kemana angin membawaku. Entah aku jadi pemusik, penulis, atau seorang arsitek. Ketiganya adalah mimpiku. Dan mimpi terbesarku adalah untuk bersama dia yang jauh di sana, terpisah oleh laut, berada di pulau berbeda.
 Itulah mimpiku J

Nb : sedikit dibuat-buat, tapi sebagian besar sama hahaha ^^ 

Wednesday, February 27, 2013

haruskah ?

berjalan tertatih ,,
lemah dan tak berdaya,
dan tanda itu masih sangat dan amat jauh ,,

pelan .. pelan ..
dan aku terjatuh ,,
kugapai apapun yang ada supaya ku berdiri lagi,
gontai ,,

haus, lapar, lelah ...
tanda itu masih jauh juga ..
aku terduduk...
dan hampir aku roboh ,,
aku coba menegakkan kembali badanku..

tapi kaki-kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku ..
terdiam sejenak .
aku berfikir keras ..
tanda itu masih jauh,, yaa, jauh sekali ..

masih ada kesempatanku untuk berbalik . tapi sama jauh ..
haruskah aku menyerah?
atau tetap berjalan menuju tanda itu?
haruskah ?

Mencoba Kembali Lagi

apa cita-citaku?                                                                                        
pertanyaan yang sering melintas diotakku.
aku ingin jadi arsitek, itu kataku sewaktu aku kecil
tapi setelah ku jalani hari-hari sebagai seorang mahasiswi arsitektur, ternyata gak segampang ketika aku mengucapkan sewaktu kecil..

sisi lain
aku suka menulis, kadang terlintas aku ingin masuk sastra. tapi nanti mau jadi apa
menulis bukan profesi baik, kata orangtua. hanya sambilan 

ya, aku mengerti
tapi tak bisa disangkal, aku lebih menikmati buku cerita daripada buku pelajaran
aku lebih menikmari menulis daripada menggambar
benar-benar perlawanan yang sengit

aku gak mau mengubur asaku
aku ingin jadi penulis
aku ingin mempunyai beberapa judul buku sendiri, yang ada fotoku di sana
terlambatkah? ...