Friday, March 1, 2013

Terimakasih Hujan


Kulangkahkan kakiku menuju sebuah ruangan yang merupakan neraka, ya, kelasku. Entah kenapa, semenjak aku menyaksikan hal itu, aku benar-benar teramat membenci ruangan ini. Sudah sebulan yang lalu sebenarnya. Tapi, semuanya masih menempel erat dalam memori otakku.
Pada waktu itu, tepat pelajaran olahraga. Seluruh teman-temanku sudah bersiap di lapangan. Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu, aku lupa dengan ikat rambutku. Rambut panjangku ini benar-benar merepotkan. Aku kembali ke kelas dan menyaksikan sebuah adegan yang tak kuharapkan. Sosok cowok yang ku kenal sebagai pacarku sedang melumat bibir seorang cewek yang ku ketahui dia adalah sahabatku. Mereka terlalu asik dengan dunianya. Sehingga kehadiranku tidak disadari oleh mereka. Tanpa membuat suara, aku segera berlari meninggalkan ruangan itu.
Sat berlari aku tak berhenti mengumpat tertahan karena isak. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Dua orang yang ku sayang dengan tega melakukan hal ini padaku. Ke kamar mandi. Aku lampiaskan semua tangisku. Aku pukul dinding kamar mandi, tak peduli tanganku sendiri yang terluka, memerah. Pelajaran olahraga usai, semua anak kembali ke kelas.
Tanpa merasa berdosa, cowok menjijikan itu menghampiriku.
“Sayang, kamu tadi ke mana? Nggak ikut olahraga? Aku hubungin hape kamu pun nggak diangkat?” Ketika dia hendak menyibakkan rambutku, aku menepis tangannya dengan keras, bahkan dia akan terasa sakit. Kemudian aku menatapnya dengan tajam. Masih terlihat mataku sembab karena menangis.
“Jangan pernah panggil aku sayang lagi. Aku jijik sama kamu! Sekarang, kita selesai, Dimas. Kita putus!” Tampaknya dia tidak terima dengan keputusanku yang sepihak ini.
“Kamu kenapa, sih? Apa yang aku lakukan?”
“Masih perlu penjelasan?” Dia mengangguk. Aku segera berjalan cepat menuju bangku seorang cewek yang kusebut teman dan menariknya dari kursi dimana dia duduk. Lalu kuseret dia menuju ke hadapan Dimas. “Masih butuh penjelasan lagi, hah?! Kalian berdua sosok menyedihkan! Kamu, aku sudah mencoba untuk mencintai kamu dengan segenap apa yang kumiliki, tapi apa yang kudapat? Dan kamu, kupikir kamu adalah temanku, yang selalu ada buat aku, tapi, harus begini? Pengkhianatan?” Aku sampai tersengal mengeluarkan kata-kata tersebut dari mulutku. Nafasku menderu dan tak ada airmata lagi. Aku kembali mengingat adegan itu, dadaku nyeri.
Mereka berdua tertunduk. Malu? Mungkin.
Sebelum aku beranjak meninggalkan mereka, aku berbalik dan berujar,
“Semoga kalian bahagia.” Teng...teng..teng... Dentang bel terdengar, tandanya pulang telah tiba. Seluruh anak berhambur.
Itu sudah sebulan lalu. Tapi, luka ini belum benar-benar sembuh. Karena aku masih bisa melihat dua sosok yang menyedihkan itu di sana. Akibat dari peristiwa itu, aku sekarang lebih berhati-hati dengan cowok. Aku menutup diri dari mereka. Bukannya sombong, aku termasuk cukup populer di sekolah. Bukan karena kecantikan, tapi karena kejeniusanku di dalam bidang pelajaran. Dan untungnya aku tak terlalu buruk rupa.
Saat ku masuki kelas, aura berubah seketika. Dua orang itu sedang duduk bersama. Masa bodoh. Kadang aku berpikir, kalau kejadian itu terulang lagi, aku tidak akan berlari dan menangis, justru akan memberi mereka tepuk tangan yang meriah. Aku menyesal menangis untuk mereka. Sudah, cukup, buka buku baru.
Karena terlalu berhati-hati, aku sering tak acuh dengan perhatian cowok yang diberikan kepadaku. Aku hanya menganggap mereka ‘orang baik’. Ada satu cowok yang membuatku sedikit bersimpati. Dia sama sekali tidak pernah menyapaku ketika aku melintas. Padahal, teman-temannya berebut untuk mengucap salam padaku. Misterius. Hal itu membuatku semakin penasaran.
Akhirnya aku mengetahui siapa namanya. Darwin. Nama yang keren. Dia masih satu angkatan denganku hanya berbeda jurusan. Pada suatu kesempatan, aku menjumpainya sedang duduk sendiri di taman sekolah seraya memegang buku ditangannya. Dia membaca buku itu sangat serius hampir tidak menyadari kehadiranku yang sudah duduk di sampingnya.
“Hai.” sapaku dengan wajah tak bersalah. Dia menoleh sebentar lalu kembali lagi menekuni bukunya. Aku paling benci dengan hal seperti itu. Aku menghela nafas panjang, dengan berani aku merebut buku yang berada di tangannya. Dia kaget.
“Balikin bukunya.”
“Huft, nggak mau. Orang disapa baik-baik. Malah dicuekin.” Aku mengomel.
“Balikin bukunya kubilang.”
“Nggak ngehargai orang sama sekali. Dasar jahat!” Kulempar bukunya dan aku langsung pergi. Asli, tengsin. Baru kali ini ada cowok kayak gitu. Aku menatap kaca dan kemudian aku mengumpat untuk diriku sendiri.
.....
Sepulang sekolah, seperti biasa aku menunggu jemputan. Jam tanganku sudah menunjukkan angka 5. Belum terlihat juga. Padahal cuaca sedang mendung dan sebentar lagi akan ... BRESS. Belum selesai membatin, hujan deras mengguyur. Gerbang sekolah sudah dikunci, baterai hape habis. Lengkap.
Brum... Ada motor berhenti di depanku. Aku mendongakkan kepala. Darwin!
“Buruan naik, kamu nanti membeku di sini.” Aku cuma bengong saat dia mengajakku untuk naik di motornya. Tak tahunya, dia menarik tanganku untuk segera membonceng dibelakang. Aku akhirnya naik motornya, dia menutupi badanku dengan jas hujan. Kami berdua melintasi hujan. Tanpa kuduga, dia menarik tanganku supaya memegang pinggangnya.
“Pegangan, nanti kamu jatuh.” Tanpa menolak, aku melakukannya. Akhirnya motor berhenti. Aku membuka jas hujan dan ternyata sudah sampai di rumahku. Hujan sudah mulai agak reda.
“Kamu tahu rumahku, Win?”
“Iya, aku tahu.” Pertanyaan menyelimuti benakku.
“Darimana?”
“Aku sudah cukup lama mengawasimu. Sudah, kamu masuk sana. Kamu basah kuyup.” Tanpa sempat mengucapkan terimakasih, dia langsung melesat pergi dengan sepeda motornya. Sekarang diotakku terngiang dengan jawabannya ‘aku sudah cukup lama mengawasimu’. Mengawasi? Apa dia menyukaiku? Tunggu dulu, Sya. Nggak boleh ge-er. Aku memasuki rumah dengan perasaan campur aduk.
Benar saja, setelah aku mandi, aku mengomel pada orang yang bertugas menjemputku, yaitu kakakku sendiri yang ternyata asik tidur di kamarnya. Tega membiarkan adiknya kehujanan. Untung ada dia. Ah, aku ingat dengannya lagi.
Dret...dret... hapeku bergetar. Ada satu pesan masuk. Dari nomor yang tak kukenal, bunyinya,
Sehat kan? Nggak kedinginan? Maaf tadi aku cuma bawa satu jas hujan
Aku langsung tersenyum melihat sms itu. Kaku banget kesannya. Dengan lincah aku memainkan jariku menekan tuts-tuts keyboard hapeku.
Kamu pikir aku lemah? Aku cukup kuat buat menghadapi hujan. Oh ya, btw, terimakasih tumpangannya. Kamu kayak pangeran berkuda yang datang nolongin aku. Wkwk .
Tak lama kemudian ada balasan lagi.
Berkuda? Berkuda hitam? Lain kali bawa payung paling nggak. Kamu memang bukan cewek lemah. Kamu cewek kuat yang pernah aku kenal. Oh ya, kita belum berkenalan.
Membacanya balasannya, aku tak tahan untuk tertawa. Tapi dahiku juga berkerut, dia bilang aku cewek kuat. Sejauh apa dia tahu tentangku. Aku membalasnya,
Kuda poni hhehehe :D. Tapi aku bukan samson loh. Ah, kamunya aja somse, disapa malah diacuhin. Aku Raisya.
Lima menit, sepuluh menit, belum ada balasan. Aku hanya mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali duduk kemudian berdiri lagi. Dret...drett... Akhirnya,
Maaf, baru selesai mandi. Kamu itu lebih dari wonder woman. Maaf, aku memang begitu. Pemalu. Aku tau siapa kamu, aku udah bilang tadi, aku udah cukup lama mengawasimu.
Sms berlanjut sampai menghantarku ke alam mimpi. Esok paginya, entah kenapa aku lebih semangat untuk masuk ke sekolah. Dan aku melupakan keasaman yang ku alami di sekolah. Seperti kepompong yang berubah jadi kupu-kupu, aku merasakan semangat baru. Apalagi kalau mengingat sms terakhir dari dia.
Selamat istirahat, princes. Ups. :D, sampai ketemu besok di sekolah. Jangan lupa bawa payung.
Aku pergi sarapan dengan bahagianya. Kakakku dan kedua orangtuaku sampai dibuat bingung dengan tingkahku di pagi hari ini.
“Ca, kamu sehat?”
“Enggak. Ica nggak sehat. Ini gara-gara kakak ngebiarin aku kehujanan. Huh!” Aku memberikan ekpresi wajah sebal tapi kemudian tertawa terbahak ketika melihat ekspresi kakakku yang merasa bersalah. “Engga, Kak. Ica dalam kondisi sehat. Ya kan, Ma? Pa? “ Ica adalah panggilanku sehari-hari di rumah.
Sampai di sekolah, aku membuka tasku, ada sebuah payung yang kubawa atas saran dari dia. Pelajaran pertama, kedua, ketiga, keempat, dan akhirnya istirahat. Dret..dret.. Hapeku bergetar.
Ayo makan sini. Aku tunggu dikantin ya, princes.
Mulai saat itu, kejadian hujan, aku dan dia semakin dekat. Dan dia mulai berani menunjukkan perhatiannya di sekolah. Dia sering bermain ke kelasku dan sebaliknya. Seluruh sekolah gempar mendengar aku dekat dengan Darwin. Satu kenyataan yang baru aku ketahui, ternyata Darwin sangat populer dikalangan para cewek-cewek di sekolah. Semua cewek mendadak menatapku dengan geram. Seolah-olah mereka ingin meremas wajahku dan menginjak-injaknya.
Suatu sore, dia mengajakku di sebuah taman kota yang hampir tak pernah ku kunjungi. Aku memang jarang pergi keluar rumah kecuali ada keadaan yang mendesak. Dia menyodorkan sebatang gulali kepadaku.
“Ca, aku mau ngomong.”
“Ngomong aja, Win.” Aku sambil menjilat gulali itu pelan-pelan supaya tidak belepotan. Dia meraih satu tanganku yang sedang menganggur dan membuat aku berubah posisi duduk, menghadap ke dia.
“Ca, aku minta maaf dulu sebelumnya. Aku memang udah lama ngawasin kamu. Dari kamu masih sama Dimas. Aku tahu semua. Kamu waktu itu nangis. Aku sudah lama suka sama kamu, tapi aku terlalu pengecut buat bilang. Dan akhirnya Dimas duluan yang menyatakan cinta.” Jadi selama ini, Darwin memendam semuanya? Hebat. “Aku sempat untuk berhenti suka sama kamu. Tapi, nggak bisa. Sewaktu tahu kamu putus sama Dimas, aku senang, tapi aku takut kalau kamu nolak aku. Makanya aku ngacuhin kamu terus. Tapi, sewaktu hujan, aku lihat kamu sendiri, aku coba buat beraniin diri. Dan sampai sekarang.”
Hampir saja aku menjatuhkan gulali yang ada di tanganku satunya. Dia memang sosok yang lembut. Sudah dua bulan aku dekat dengannya. Sudah banyak tempat yang kami kunjungi, kecuali taman ini. Dia pun sudah akrab dengan keluargaku. Bahkan aku sudah diajak ke rumahnya dan membantu mamanya membuat kue.
“Dekat sama kamu, itu sesuatu yang kuanggap mimpi, dulu. Tapi, sekarang, aku bisa sama-sama kamu terus. Walaupun cara kita dekat bener-bener konyol.” Kami berdua terkekeh membayangkan pertama kali dekat. Hanya gara-gara hujan. Kami dekat tapi belum ada ikatan.
“Win, kamu adalah sosok cowok yang berani menurutku. Dari sekian yang suka sama aku aja kalah. Cuma kamu yang berani nolongin aku. Kamu yang datang bantuin aku. Dan aku nggak peduli soal dari kapan kamu mengawasiku. Kamu bukan pengecut. Aku aja yang kurang peka. Sampai akhirnya aku yang sakit. Dan kamu sosok cowok yang sukses buat aku penasaran dengan sikap acuhmu itu.” Aku memberikan senyum terbaikku untuk dia.
“Raisya Octa Wijaya, kamu mau jadi pacar aku?” Aku berpura-pura berpikir. Dahiku kukerutkan sehingga membuatnya timbul tanda tanya besar. Apa jawabanku. Apa aku meragukannya.
“Darwin Putra Sentosa, maaf ya ...” Dia tertunduk lesu. “...aku nggak bisa menolakmu. Karena aku pengen kamu jadi pacarku juga. Hehe.” Aku puas membuatnya deg-deg an. Puasssss! Dia langsung memelukku erat. Tak lama kemudian, hujan mengguyur sedang.
“Lihat, hujan udah mempertemukan kita. Dan hujan menyatukan kita.” Aku membalas pelukannya. Dalam hatiku berkata, terimakasih hujan.

0 comments:

Post a Comment