Friday, March 1, 2013

Tentang Rasa


Dia adalah seorang pemain basket handal di sekolah tempat dia belajar. Tak jarang dia menjadi incaran para gadis. Namanya Ricky Armando, dia cowok berdarah campuran antara Indo-Belanda. Hidungnya benar-benar sempurna, memiliki warna mata biru yang menawan. Badan tegap tinggi, sesuai dengan profesi yang ditekuninya. Kulit putih dan kadang kemerahan ketika matahari mengenai permukaannya. Tapi, sampai tahun ketiga, dia belum pernah menggandeng pasangan, atau pacar.
“Rick, nanti kau datang ke acara ulangtahun Amel?” tanya Faris, yang kebetulan merupakan orang minang.
“Nggak tau gue, Ris. Kenapa memangnya?” Ricky memang sudah fasih berbahasa Indonesia.
“Kan Amel mengharapkan kau datang, Lae. Dia itu menyukaimu.” Ricky menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian dia meringis sendiri.
“Sudah, aku capek. Aku duluan, Ris. Guys, gue duluan.” Ricky segera mengambil sepeda motornya yang berada di tempat parkir. Pada saat dia keluar dari gerbang sekolah, dia melihat sosok gadis yang sedang duduk sendiri di depan sebuah warung yang sudah tutup. Hari itu sudah cukup sore. dia menghampiri gadis itu.
“La? Sendirian?”
“Eh, Ricky. Iya, nih. Kakakku ban sepeda motornya bocor. Jadi dia sedikit terlambat.” Lola namanya, dia gadis yang hidupnya sederhana. Ricky cukup lama mengenal Lola. Karena Lola memang baik. Dia sering membantu Ricky ketika dia mengalami kesulitan belaajar di tahun-tahun pertama. Dan dari Lola lah, Ricky belajar tentang menghargai orang dan menghargai apa yang dia miiki.
“Aku antar kamu pulang aja. Udah mulai gelap. Kamu bilang sama kakak kamu, ya.”
“Tapi nanti aku ngrepotin, Rick.” Ricky menggeleng keras. Lola akhirnya menuruti. Selama perjalanan, mereka lebih bercerita tentang bertemunya mereka. Sebelum bersekolah di tempat yang sama, mereka berdua pernah bertemu di sebuah pagelaran seni. Mereka sama-sama menyukai bilik lukisan. Itu awal mereka bertemu. Tak tahunya, mereka menjadi teman satu sekolah. Sampai juga di depan rumah Lola yang sederhana. Tidak terlalu besar, tapi nyaman. Penuh pot-pot bunga yang dirawat rapi. Ada sebuah ayunan kecil yang terletak di samping kolam ikan kecil.
“Aku sampai lupa kapan terakhir kali ke sini, La.” Keduanya terkekeh kecil.
“Kamu sekarang jadi orang sibuk, Rick. Kamu nggak datang diacara ulangtahunnya Amel?”
“Kamu diundang?” Lola menggeleng.
“Kalau nggak ada kamu, aku nggak akan datang, La.” Lola hanya tersenyum tersipu. Dia nggak mau besar kepala, takut nanti dia akan terjatuh sendiri dan sakit. Lola ijin untukmasuk ke dalam rumah dan Ricky juga kembali ke rumahnya. Di perjalanan, Ricky tersenyum-senyum sendiri dan memacu sepeda motornya dengan gesit. Sampai di rumah, mamanya menyambutnya dengan cemas.
“Where are you? Mama telfonin kenapa nggak diangkat?”
“Calm down, Mom. Handphone aku di tas. Tadi nganter Lola dulu pulang.” Mamanya sudah tahu perihal Lola. Ricky tipe cowok yang lebih suka curhat dengan mamanya ketimbang dengan papanya. Karena sama sekali tidak nyambung. Dan mamanya bisa menangkap, anaknya itu tertarik dengan Lola. Lagipula, menurut beliau, Lola adalah gadis yang baik dan rajin, karena memang Ricky sudah memperkenalkan Lola padanya. Ricky memutuskan untuk segera mandi dan pergi makan malam. Papanya atau Daddynya sedang tidak berada di rumah karena urusan bisnis. Papanya merupakan seorang yang berpengaruh. Pekerjaannya yang membuatnya bisa mencukupi kebutuhan keliarganya, bahkan lebih. Mama Ricky sering menceritakan masa mudanya dengan papanya. Romantis.
“Ma, aku nggak mungkin bisa seperti kalian. Itu kan dulu. Sekarang jamannya sudah lebih modern.” Ricky hanya tinggal berdua dengan mamanya. Dia belum memiliki adik lagi. Padahal usia mamanya masih dibilang belum terlalu tua untuk memiliki anak lagi. Tapi Ricky menyadari ada yang janggal dari sikap mamanya. Mama mulai sering memperhatikan pola makan, pola tidur, dan lainnya. “Mom, are you pregnant?” Mamanya langsung terperanjat.
“How you know, Darl?”
“Feeling. Congrats.” Ricky beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri mamanya untuk memberikan pelukan. Tak tahu mengapa, mamanya menangis. Ya, menangis bahagia. “Oh,yes! Aku bakalan punya adik baru.” Seperti anak kecil yang senang mendapat mainan baru, ekspresi Ricky benar-benar senang. Selesai makan dan membereskan piring-piring, dia meminta mamanya untuk beristirahat. Sedangkan Ricky menuju halaman belakang dan meraih handphonenya. Dengan lincah jarinya menekan tombol-tombol.
Lola, i have goodthing. My mom is pregnant. I will have a little brother or sister. Are you happy?
Dia sering menulis sms menggunakan bahasa inggris hanya dengan Lola. Kemudian mendapatkan balasan.
Are you serious? Oh, i am so happy. Congrats, Rick. You will be a big brother. We must celebrate it.
Ricky membalas lagi.
It’s good idea. See you at school.
Kemudian Ricky memutuskan untuk tidur. Keesokan paginya, dia sangat ceria, lain dari biasanya. Sebelum berangkat dia mencium kening mamanya dan mengelus perutnya. Dia akan mempunyai seorang adik.  Sesampainya di sekolah, belum sempat dia meletakkan tas di bangkunya, ada seseorang menarik tangannya sehingga tubuhnya berbalik.
“Kenapa semalam kamu nggak datang, Rick? Aku kan sudah memberimu undangan.” Ternyata itu Amel. Yang semalam merayakan ulang tahun ke-17.
“Maaf, aku lelah, Mel.”
“Lelah? Lelah karena mengantar Lola, kan?”
“Kenapa dia ikut terlibat?”
“Karena memang begitu keadaannya. Kamu lebih memilih dia daripada aku. Rick, apa sih lebihnya Lola?” Ricky mengernyitkan dahinya. Bukan dia berpikir tapi menganggap pertanyaan Amel sangat kurang masuk akal.
“Sepertinya pembicaraan sudah cukup. it’s not connected with her. Don’t blame her.” Ricky mencoba meghindar, tapi tetap dicegah oleh Amel yang tiba-tiba menggamit lengannya dan terlihat seperti berpelukan. Sebelum disadari oleh orang-orang, Ricky melepaskan pegangan Amel.
“You act too much.” Ricky pergi. Ketika dia mendekati pintu keluar,
“Dia benar, Rick. Apa lebihku.” Ternyata Lola. Dia menyaksikan yang terjadi. Ricky terlihat menahan rasa bersalah, sedih, dan menyesal. Seharusnya dia tidak melihat semuanya.
“Ini bukan masalah lebih yang kamu punya, La.”
“Aku tidak cantik. Aku tidak kaya. Aku tidak gaul. Sama sekali tak bisa dibanggakan sebagai seorang wanita.” Ricky berjalan mendekati Lola yang bersandar ditembok sambil menatap langit-langit koridor. Dia berdiri dihadapan gadis yang sudah lama dekat dengannya itu.
“Bukan secara fisik. Tapi ini.” kata Ricky sambil memegang dadanya, “Hati dan rasa,” lanjutnya sambil tersenyum. Senyum khas yang sering dilihat oleh Lola. “Rasa tak bisa dipaksakan. Kalau nggak suka, lebih baik bilang nggak suka. Dan rasa itu sama sekali tak bisa ditutupi bagaimanapun caranya.”
Lola menghela nafas panjang. Dan mengubah posisi hadapnya menatap wajah Ricky yang ada di hadapannya lekat-lekat.
“Apa aku terlalu tinggi, membayangkan kalau kamu nanti jadi pacarku, Rick?” Sontan Ricky tertawa terkekeh mendengar pertanyaan lugu dari mulut Lola. Lola pun menyadari kebodohannya menanyakan hal demikian, ikut tertawa terkekeh. “Maaf, aku ceroboh, terlalu jujur.”
“Bukan ceroboh, La. Tapi kamu memang tidak bisa menutupi rasa itu.” Hening sejenak. “Itu bukan bayangan yang tinggi. Karena itu mungkin terjadi.” Ricky tersenyum penuh misteri. Membuat batin Lola bertanya-tanya. Sebenarnya, Ricky bisa saja mengucapkan saat itu juga, tapi ini belum saat yang tepat, menurutnya. Teng...teng.. Bel masuk telah berbunyi. Mereka berdua berpisah untuk memasuki kelas masing-masing. selama [elajaran berlangsung, keduanya sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada materi yang diajarkan. Mereka lebih sering senyum-senyum sendiri. tak terasa jam pulang tiba, karena ada rapat guru, murid pulang lebih awal. Lola bersiap mengemas buku-bukunya. Saat dia akan berdiri, Amel mendorong pundaknya sehingga terduduk lagi.
“Amel? Kenapa?”
“Jangan pura-pura bodoh, La. Jauhi Ricky!”
“Kenapa aku harus melakukannya?”
“Dia tidak cocok bersamamu! Sadar diri, dong!” Amel melakukan gertakan. Tiba-tiba, dari arah belakang,
“Dia tak harus menjauhiku. Kalaupun dia yang menjauh, aku yang mendekat. Ayo, La. Kita pulang.” Ricky meraih tangan Lola dan membawanya serta. Wajah amel merah padam. Malu, kesal, dan marah. Bagaimana tidak, kejadian itu dilihat anak-anak satu kelas.
“Rick, maksudnya kalau aku menjauh, kamu yang mendekat? Itu apa?” Tiba-tiba Ricky mengusap rambut Lola dengan pelan.
“Dasar, polos. Maksudnya, ya, aku yang mengejarmu. Mengejarmu sampai dapat.” Ricky dan Lola terkekeh lagi. Entah apa yang lucu, tapi yang jelas mereka tertawa bersama. Hari ini hari Sabtu. Biasanya anak muda pergi untuk nongkrong atau sekedar menghabiskan waktu di mall. Ricky punya rencana lain. Malam harinya, tepat pukul 19.00, dia menjemput Lola. Lola sudah mempersiapkan diri. Dengan kaos t-shirt pink yang tidak terlalu ketat. Celana jins panjang dan jaket.
“Waw, kamu kelihatan beda. Terlihat lebih ...”
‘Gaul?” Keduanya tertawa bersamaan. Ricky melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Selama perjalan Lola selalu menanyakan dimana tujuan mereka, namun Ricky enggan menjawabnya. Benar-benar membuat Lola penasaran. Akhirnya mereka tiba disuatu tempat yang asing bagi Lola. Tempatnya sedikit gelap dan sepi.
“Kita mau ngapain di sini, Rick? Gelap-gelapan begini.”
“Ssst, sekarang kamu tutup mata. Dan jangan berani-berani untuk mengintip. Aku yang akan menuntunmu berjalan. Kamu percaya aku, kan?”
“Kamu ngomongnya panjang banget, Rick. Iya, aku percaya.” Lola lalu menutup matanya. Mereka berdua jalan berdampingan. Lola memegang lengan Ricky agar tidak tersandung dan ricky menuntunnya dengan hati-hati. Memang agak sedikit licin mungkin sisa hujan kemarin. Langkah Ricky berhenti. Lola pun berhenti.
“Udah sampai?” tanya Lola yang masih menutup mata.
“Sebentar. Kamu diam dulu. Aku ke depan sebentar. Jangan buka mata.”
“Eh, awas jangan macam-macam.” Ricky berjalan ke depan. Meninggalkan Lola yang masih menutup matanya.
“Kamu dengar suaraku, La?”
“Iya, Rick. Tapi jauh.”
“Kamu bisa jalan kesini? Tapi , mata kamu harus tetap tertutup. Ikuti saja suaraku.” Lola menghela nafas. Dia mengambil langkah pertama. Dia berjalan menuju suara Ricky yang menyebutkan namanya berulang kali. Kadang samar. Kadang jelas. Dia berhenti sejenak, bukan menyerah. Dia mengambil nafas lagi dan mulai melangkah. Tap..tap..tap.. Lola berhenti. Dia merasakan di depannya ada hembusan kecil dan suara ...
“Lola...” Lola berhasil sampai. “Kamu boleh buka mata.” Dan benar. Keduanya saling berhadapan. Lalu Lola mengerjap-kerjapkan matanya yang masih gelap. Dan dia melihat pemandangan yang luar biasa. Lampu-lampu berkelip-kelip. Ada sebuah meja makan beserta dua buah kursi dan makanan.
“Ricky?”
“Iya? Ini buat kita. Kan mau ngerayain kabar gembira semalam. Oh,ya, kamu bisa sampai di depanku, bagaimana?”
“Merasakan. Aku tadi sempat mau menyerah. Tapi, aku nggak mau.”
“Kenapa?”
“Harus dijawab?” Keduanya terkekeh lagi.
“Lola, aku sayang sama kamu. Kamu mau, jadi pacar aku? Hmm...untuk saat ini pacar. Tapi untuk kehidupan kedepan, kamu mau menungguku untuk melamarmu?” Lola tiba-tiba menjitak kepala Ricky.
“Dodol. Kita masih kecil. Kok udah bahas melamar.”
“Kan rencana, Sayang. Ups. Kamu kan belum jawab, ya.” Ricky menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Jawabannya. Iya. Aku mau, Ricky jelek.” Lola melonjak merangkul leher Ricky karena dia lebih tinggi. Ricky mencium kening Lola dengan lembut. Kemudian mereka melanjutkan dengan makan malam. Kini mereka adalah sepasang kekasih. Dan disatukan oleh rasa yang sama. Inilah kekuatan rasa. J happi ending dong ^^


1/03/2013
nim - 

0 comments:

Post a Comment