Friday, March 1, 2013

Terimakasih Hujan


Kulangkahkan kakiku menuju sebuah ruangan yang merupakan neraka, ya, kelasku. Entah kenapa, semenjak aku menyaksikan hal itu, aku benar-benar teramat membenci ruangan ini. Sudah sebulan yang lalu sebenarnya. Tapi, semuanya masih menempel erat dalam memori otakku.
Pada waktu itu, tepat pelajaran olahraga. Seluruh teman-temanku sudah bersiap di lapangan. Tiba-tiba, aku teringat akan sesuatu, aku lupa dengan ikat rambutku. Rambut panjangku ini benar-benar merepotkan. Aku kembali ke kelas dan menyaksikan sebuah adegan yang tak kuharapkan. Sosok cowok yang ku kenal sebagai pacarku sedang melumat bibir seorang cewek yang ku ketahui dia adalah sahabatku. Mereka terlalu asik dengan dunianya. Sehingga kehadiranku tidak disadari oleh mereka. Tanpa membuat suara, aku segera berlari meninggalkan ruangan itu.
Sat berlari aku tak berhenti mengumpat tertahan karena isak. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Dua orang yang ku sayang dengan tega melakukan hal ini padaku. Ke kamar mandi. Aku lampiaskan semua tangisku. Aku pukul dinding kamar mandi, tak peduli tanganku sendiri yang terluka, memerah. Pelajaran olahraga usai, semua anak kembali ke kelas.
Tanpa merasa berdosa, cowok menjijikan itu menghampiriku.
“Sayang, kamu tadi ke mana? Nggak ikut olahraga? Aku hubungin hape kamu pun nggak diangkat?” Ketika dia hendak menyibakkan rambutku, aku menepis tangannya dengan keras, bahkan dia akan terasa sakit. Kemudian aku menatapnya dengan tajam. Masih terlihat mataku sembab karena menangis.
“Jangan pernah panggil aku sayang lagi. Aku jijik sama kamu! Sekarang, kita selesai, Dimas. Kita putus!” Tampaknya dia tidak terima dengan keputusanku yang sepihak ini.
“Kamu kenapa, sih? Apa yang aku lakukan?”
“Masih perlu penjelasan?” Dia mengangguk. Aku segera berjalan cepat menuju bangku seorang cewek yang kusebut teman dan menariknya dari kursi dimana dia duduk. Lalu kuseret dia menuju ke hadapan Dimas. “Masih butuh penjelasan lagi, hah?! Kalian berdua sosok menyedihkan! Kamu, aku sudah mencoba untuk mencintai kamu dengan segenap apa yang kumiliki, tapi apa yang kudapat? Dan kamu, kupikir kamu adalah temanku, yang selalu ada buat aku, tapi, harus begini? Pengkhianatan?” Aku sampai tersengal mengeluarkan kata-kata tersebut dari mulutku. Nafasku menderu dan tak ada airmata lagi. Aku kembali mengingat adegan itu, dadaku nyeri.
Mereka berdua tertunduk. Malu? Mungkin.
Sebelum aku beranjak meninggalkan mereka, aku berbalik dan berujar,
“Semoga kalian bahagia.” Teng...teng..teng... Dentang bel terdengar, tandanya pulang telah tiba. Seluruh anak berhambur.
Itu sudah sebulan lalu. Tapi, luka ini belum benar-benar sembuh. Karena aku masih bisa melihat dua sosok yang menyedihkan itu di sana. Akibat dari peristiwa itu, aku sekarang lebih berhati-hati dengan cowok. Aku menutup diri dari mereka. Bukannya sombong, aku termasuk cukup populer di sekolah. Bukan karena kecantikan, tapi karena kejeniusanku di dalam bidang pelajaran. Dan untungnya aku tak terlalu buruk rupa.
Saat ku masuki kelas, aura berubah seketika. Dua orang itu sedang duduk bersama. Masa bodoh. Kadang aku berpikir, kalau kejadian itu terulang lagi, aku tidak akan berlari dan menangis, justru akan memberi mereka tepuk tangan yang meriah. Aku menyesal menangis untuk mereka. Sudah, cukup, buka buku baru.
Karena terlalu berhati-hati, aku sering tak acuh dengan perhatian cowok yang diberikan kepadaku. Aku hanya menganggap mereka ‘orang baik’. Ada satu cowok yang membuatku sedikit bersimpati. Dia sama sekali tidak pernah menyapaku ketika aku melintas. Padahal, teman-temannya berebut untuk mengucap salam padaku. Misterius. Hal itu membuatku semakin penasaran.
Akhirnya aku mengetahui siapa namanya. Darwin. Nama yang keren. Dia masih satu angkatan denganku hanya berbeda jurusan. Pada suatu kesempatan, aku menjumpainya sedang duduk sendiri di taman sekolah seraya memegang buku ditangannya. Dia membaca buku itu sangat serius hampir tidak menyadari kehadiranku yang sudah duduk di sampingnya.
“Hai.” sapaku dengan wajah tak bersalah. Dia menoleh sebentar lalu kembali lagi menekuni bukunya. Aku paling benci dengan hal seperti itu. Aku menghela nafas panjang, dengan berani aku merebut buku yang berada di tangannya. Dia kaget.
“Balikin bukunya.”
“Huft, nggak mau. Orang disapa baik-baik. Malah dicuekin.” Aku mengomel.
“Balikin bukunya kubilang.”
“Nggak ngehargai orang sama sekali. Dasar jahat!” Kulempar bukunya dan aku langsung pergi. Asli, tengsin. Baru kali ini ada cowok kayak gitu. Aku menatap kaca dan kemudian aku mengumpat untuk diriku sendiri.
.....
Sepulang sekolah, seperti biasa aku menunggu jemputan. Jam tanganku sudah menunjukkan angka 5. Belum terlihat juga. Padahal cuaca sedang mendung dan sebentar lagi akan ... BRESS. Belum selesai membatin, hujan deras mengguyur. Gerbang sekolah sudah dikunci, baterai hape habis. Lengkap.
Brum... Ada motor berhenti di depanku. Aku mendongakkan kepala. Darwin!
“Buruan naik, kamu nanti membeku di sini.” Aku cuma bengong saat dia mengajakku untuk naik di motornya. Tak tahunya, dia menarik tanganku untuk segera membonceng dibelakang. Aku akhirnya naik motornya, dia menutupi badanku dengan jas hujan. Kami berdua melintasi hujan. Tanpa kuduga, dia menarik tanganku supaya memegang pinggangnya.
“Pegangan, nanti kamu jatuh.” Tanpa menolak, aku melakukannya. Akhirnya motor berhenti. Aku membuka jas hujan dan ternyata sudah sampai di rumahku. Hujan sudah mulai agak reda.
“Kamu tahu rumahku, Win?”
“Iya, aku tahu.” Pertanyaan menyelimuti benakku.
“Darimana?”
“Aku sudah cukup lama mengawasimu. Sudah, kamu masuk sana. Kamu basah kuyup.” Tanpa sempat mengucapkan terimakasih, dia langsung melesat pergi dengan sepeda motornya. Sekarang diotakku terngiang dengan jawabannya ‘aku sudah cukup lama mengawasimu’. Mengawasi? Apa dia menyukaiku? Tunggu dulu, Sya. Nggak boleh ge-er. Aku memasuki rumah dengan perasaan campur aduk.
Benar saja, setelah aku mandi, aku mengomel pada orang yang bertugas menjemputku, yaitu kakakku sendiri yang ternyata asik tidur di kamarnya. Tega membiarkan adiknya kehujanan. Untung ada dia. Ah, aku ingat dengannya lagi.
Dret...dret... hapeku bergetar. Ada satu pesan masuk. Dari nomor yang tak kukenal, bunyinya,
Sehat kan? Nggak kedinginan? Maaf tadi aku cuma bawa satu jas hujan
Aku langsung tersenyum melihat sms itu. Kaku banget kesannya. Dengan lincah aku memainkan jariku menekan tuts-tuts keyboard hapeku.
Kamu pikir aku lemah? Aku cukup kuat buat menghadapi hujan. Oh ya, btw, terimakasih tumpangannya. Kamu kayak pangeran berkuda yang datang nolongin aku. Wkwk .
Tak lama kemudian ada balasan lagi.
Berkuda? Berkuda hitam? Lain kali bawa payung paling nggak. Kamu memang bukan cewek lemah. Kamu cewek kuat yang pernah aku kenal. Oh ya, kita belum berkenalan.
Membacanya balasannya, aku tak tahan untuk tertawa. Tapi dahiku juga berkerut, dia bilang aku cewek kuat. Sejauh apa dia tahu tentangku. Aku membalasnya,
Kuda poni hhehehe :D. Tapi aku bukan samson loh. Ah, kamunya aja somse, disapa malah diacuhin. Aku Raisya.
Lima menit, sepuluh menit, belum ada balasan. Aku hanya mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali duduk kemudian berdiri lagi. Dret...drett... Akhirnya,
Maaf, baru selesai mandi. Kamu itu lebih dari wonder woman. Maaf, aku memang begitu. Pemalu. Aku tau siapa kamu, aku udah bilang tadi, aku udah cukup lama mengawasimu.
Sms berlanjut sampai menghantarku ke alam mimpi. Esok paginya, entah kenapa aku lebih semangat untuk masuk ke sekolah. Dan aku melupakan keasaman yang ku alami di sekolah. Seperti kepompong yang berubah jadi kupu-kupu, aku merasakan semangat baru. Apalagi kalau mengingat sms terakhir dari dia.
Selamat istirahat, princes. Ups. :D, sampai ketemu besok di sekolah. Jangan lupa bawa payung.
Aku pergi sarapan dengan bahagianya. Kakakku dan kedua orangtuaku sampai dibuat bingung dengan tingkahku di pagi hari ini.
“Ca, kamu sehat?”
“Enggak. Ica nggak sehat. Ini gara-gara kakak ngebiarin aku kehujanan. Huh!” Aku memberikan ekpresi wajah sebal tapi kemudian tertawa terbahak ketika melihat ekspresi kakakku yang merasa bersalah. “Engga, Kak. Ica dalam kondisi sehat. Ya kan, Ma? Pa? “ Ica adalah panggilanku sehari-hari di rumah.
Sampai di sekolah, aku membuka tasku, ada sebuah payung yang kubawa atas saran dari dia. Pelajaran pertama, kedua, ketiga, keempat, dan akhirnya istirahat. Dret..dret.. Hapeku bergetar.
Ayo makan sini. Aku tunggu dikantin ya, princes.
Mulai saat itu, kejadian hujan, aku dan dia semakin dekat. Dan dia mulai berani menunjukkan perhatiannya di sekolah. Dia sering bermain ke kelasku dan sebaliknya. Seluruh sekolah gempar mendengar aku dekat dengan Darwin. Satu kenyataan yang baru aku ketahui, ternyata Darwin sangat populer dikalangan para cewek-cewek di sekolah. Semua cewek mendadak menatapku dengan geram. Seolah-olah mereka ingin meremas wajahku dan menginjak-injaknya.
Suatu sore, dia mengajakku di sebuah taman kota yang hampir tak pernah ku kunjungi. Aku memang jarang pergi keluar rumah kecuali ada keadaan yang mendesak. Dia menyodorkan sebatang gulali kepadaku.
“Ca, aku mau ngomong.”
“Ngomong aja, Win.” Aku sambil menjilat gulali itu pelan-pelan supaya tidak belepotan. Dia meraih satu tanganku yang sedang menganggur dan membuat aku berubah posisi duduk, menghadap ke dia.
“Ca, aku minta maaf dulu sebelumnya. Aku memang udah lama ngawasin kamu. Dari kamu masih sama Dimas. Aku tahu semua. Kamu waktu itu nangis. Aku sudah lama suka sama kamu, tapi aku terlalu pengecut buat bilang. Dan akhirnya Dimas duluan yang menyatakan cinta.” Jadi selama ini, Darwin memendam semuanya? Hebat. “Aku sempat untuk berhenti suka sama kamu. Tapi, nggak bisa. Sewaktu tahu kamu putus sama Dimas, aku senang, tapi aku takut kalau kamu nolak aku. Makanya aku ngacuhin kamu terus. Tapi, sewaktu hujan, aku lihat kamu sendiri, aku coba buat beraniin diri. Dan sampai sekarang.”
Hampir saja aku menjatuhkan gulali yang ada di tanganku satunya. Dia memang sosok yang lembut. Sudah dua bulan aku dekat dengannya. Sudah banyak tempat yang kami kunjungi, kecuali taman ini. Dia pun sudah akrab dengan keluargaku. Bahkan aku sudah diajak ke rumahnya dan membantu mamanya membuat kue.
“Dekat sama kamu, itu sesuatu yang kuanggap mimpi, dulu. Tapi, sekarang, aku bisa sama-sama kamu terus. Walaupun cara kita dekat bener-bener konyol.” Kami berdua terkekeh membayangkan pertama kali dekat. Hanya gara-gara hujan. Kami dekat tapi belum ada ikatan.
“Win, kamu adalah sosok cowok yang berani menurutku. Dari sekian yang suka sama aku aja kalah. Cuma kamu yang berani nolongin aku. Kamu yang datang bantuin aku. Dan aku nggak peduli soal dari kapan kamu mengawasiku. Kamu bukan pengecut. Aku aja yang kurang peka. Sampai akhirnya aku yang sakit. Dan kamu sosok cowok yang sukses buat aku penasaran dengan sikap acuhmu itu.” Aku memberikan senyum terbaikku untuk dia.
“Raisya Octa Wijaya, kamu mau jadi pacar aku?” Aku berpura-pura berpikir. Dahiku kukerutkan sehingga membuatnya timbul tanda tanya besar. Apa jawabanku. Apa aku meragukannya.
“Darwin Putra Sentosa, maaf ya ...” Dia tertunduk lesu. “...aku nggak bisa menolakmu. Karena aku pengen kamu jadi pacarku juga. Hehe.” Aku puas membuatnya deg-deg an. Puasssss! Dia langsung memelukku erat. Tak lama kemudian, hujan mengguyur sedang.
“Lihat, hujan udah mempertemukan kita. Dan hujan menyatukan kita.” Aku membalas pelukannya. Dalam hatiku berkata, terimakasih hujan.

Tentang Rasa


Dia adalah seorang pemain basket handal di sekolah tempat dia belajar. Tak jarang dia menjadi incaran para gadis. Namanya Ricky Armando, dia cowok berdarah campuran antara Indo-Belanda. Hidungnya benar-benar sempurna, memiliki warna mata biru yang menawan. Badan tegap tinggi, sesuai dengan profesi yang ditekuninya. Kulit putih dan kadang kemerahan ketika matahari mengenai permukaannya. Tapi, sampai tahun ketiga, dia belum pernah menggandeng pasangan, atau pacar.
“Rick, nanti kau datang ke acara ulangtahun Amel?” tanya Faris, yang kebetulan merupakan orang minang.
“Nggak tau gue, Ris. Kenapa memangnya?” Ricky memang sudah fasih berbahasa Indonesia.
“Kan Amel mengharapkan kau datang, Lae. Dia itu menyukaimu.” Ricky menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian dia meringis sendiri.
“Sudah, aku capek. Aku duluan, Ris. Guys, gue duluan.” Ricky segera mengambil sepeda motornya yang berada di tempat parkir. Pada saat dia keluar dari gerbang sekolah, dia melihat sosok gadis yang sedang duduk sendiri di depan sebuah warung yang sudah tutup. Hari itu sudah cukup sore. dia menghampiri gadis itu.
“La? Sendirian?”
“Eh, Ricky. Iya, nih. Kakakku ban sepeda motornya bocor. Jadi dia sedikit terlambat.” Lola namanya, dia gadis yang hidupnya sederhana. Ricky cukup lama mengenal Lola. Karena Lola memang baik. Dia sering membantu Ricky ketika dia mengalami kesulitan belaajar di tahun-tahun pertama. Dan dari Lola lah, Ricky belajar tentang menghargai orang dan menghargai apa yang dia miiki.
“Aku antar kamu pulang aja. Udah mulai gelap. Kamu bilang sama kakak kamu, ya.”
“Tapi nanti aku ngrepotin, Rick.” Ricky menggeleng keras. Lola akhirnya menuruti. Selama perjalanan, mereka lebih bercerita tentang bertemunya mereka. Sebelum bersekolah di tempat yang sama, mereka berdua pernah bertemu di sebuah pagelaran seni. Mereka sama-sama menyukai bilik lukisan. Itu awal mereka bertemu. Tak tahunya, mereka menjadi teman satu sekolah. Sampai juga di depan rumah Lola yang sederhana. Tidak terlalu besar, tapi nyaman. Penuh pot-pot bunga yang dirawat rapi. Ada sebuah ayunan kecil yang terletak di samping kolam ikan kecil.
“Aku sampai lupa kapan terakhir kali ke sini, La.” Keduanya terkekeh kecil.
“Kamu sekarang jadi orang sibuk, Rick. Kamu nggak datang diacara ulangtahunnya Amel?”
“Kamu diundang?” Lola menggeleng.
“Kalau nggak ada kamu, aku nggak akan datang, La.” Lola hanya tersenyum tersipu. Dia nggak mau besar kepala, takut nanti dia akan terjatuh sendiri dan sakit. Lola ijin untukmasuk ke dalam rumah dan Ricky juga kembali ke rumahnya. Di perjalanan, Ricky tersenyum-senyum sendiri dan memacu sepeda motornya dengan gesit. Sampai di rumah, mamanya menyambutnya dengan cemas.
“Where are you? Mama telfonin kenapa nggak diangkat?”
“Calm down, Mom. Handphone aku di tas. Tadi nganter Lola dulu pulang.” Mamanya sudah tahu perihal Lola. Ricky tipe cowok yang lebih suka curhat dengan mamanya ketimbang dengan papanya. Karena sama sekali tidak nyambung. Dan mamanya bisa menangkap, anaknya itu tertarik dengan Lola. Lagipula, menurut beliau, Lola adalah gadis yang baik dan rajin, karena memang Ricky sudah memperkenalkan Lola padanya. Ricky memutuskan untuk segera mandi dan pergi makan malam. Papanya atau Daddynya sedang tidak berada di rumah karena urusan bisnis. Papanya merupakan seorang yang berpengaruh. Pekerjaannya yang membuatnya bisa mencukupi kebutuhan keliarganya, bahkan lebih. Mama Ricky sering menceritakan masa mudanya dengan papanya. Romantis.
“Ma, aku nggak mungkin bisa seperti kalian. Itu kan dulu. Sekarang jamannya sudah lebih modern.” Ricky hanya tinggal berdua dengan mamanya. Dia belum memiliki adik lagi. Padahal usia mamanya masih dibilang belum terlalu tua untuk memiliki anak lagi. Tapi Ricky menyadari ada yang janggal dari sikap mamanya. Mama mulai sering memperhatikan pola makan, pola tidur, dan lainnya. “Mom, are you pregnant?” Mamanya langsung terperanjat.
“How you know, Darl?”
“Feeling. Congrats.” Ricky beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri mamanya untuk memberikan pelukan. Tak tahu mengapa, mamanya menangis. Ya, menangis bahagia. “Oh,yes! Aku bakalan punya adik baru.” Seperti anak kecil yang senang mendapat mainan baru, ekspresi Ricky benar-benar senang. Selesai makan dan membereskan piring-piring, dia meminta mamanya untuk beristirahat. Sedangkan Ricky menuju halaman belakang dan meraih handphonenya. Dengan lincah jarinya menekan tombol-tombol.
Lola, i have goodthing. My mom is pregnant. I will have a little brother or sister. Are you happy?
Dia sering menulis sms menggunakan bahasa inggris hanya dengan Lola. Kemudian mendapatkan balasan.
Are you serious? Oh, i am so happy. Congrats, Rick. You will be a big brother. We must celebrate it.
Ricky membalas lagi.
It’s good idea. See you at school.
Kemudian Ricky memutuskan untuk tidur. Keesokan paginya, dia sangat ceria, lain dari biasanya. Sebelum berangkat dia mencium kening mamanya dan mengelus perutnya. Dia akan mempunyai seorang adik.  Sesampainya di sekolah, belum sempat dia meletakkan tas di bangkunya, ada seseorang menarik tangannya sehingga tubuhnya berbalik.
“Kenapa semalam kamu nggak datang, Rick? Aku kan sudah memberimu undangan.” Ternyata itu Amel. Yang semalam merayakan ulang tahun ke-17.
“Maaf, aku lelah, Mel.”
“Lelah? Lelah karena mengantar Lola, kan?”
“Kenapa dia ikut terlibat?”
“Karena memang begitu keadaannya. Kamu lebih memilih dia daripada aku. Rick, apa sih lebihnya Lola?” Ricky mengernyitkan dahinya. Bukan dia berpikir tapi menganggap pertanyaan Amel sangat kurang masuk akal.
“Sepertinya pembicaraan sudah cukup. it’s not connected with her. Don’t blame her.” Ricky mencoba meghindar, tapi tetap dicegah oleh Amel yang tiba-tiba menggamit lengannya dan terlihat seperti berpelukan. Sebelum disadari oleh orang-orang, Ricky melepaskan pegangan Amel.
“You act too much.” Ricky pergi. Ketika dia mendekati pintu keluar,
“Dia benar, Rick. Apa lebihku.” Ternyata Lola. Dia menyaksikan yang terjadi. Ricky terlihat menahan rasa bersalah, sedih, dan menyesal. Seharusnya dia tidak melihat semuanya.
“Ini bukan masalah lebih yang kamu punya, La.”
“Aku tidak cantik. Aku tidak kaya. Aku tidak gaul. Sama sekali tak bisa dibanggakan sebagai seorang wanita.” Ricky berjalan mendekati Lola yang bersandar ditembok sambil menatap langit-langit koridor. Dia berdiri dihadapan gadis yang sudah lama dekat dengannya itu.
“Bukan secara fisik. Tapi ini.” kata Ricky sambil memegang dadanya, “Hati dan rasa,” lanjutnya sambil tersenyum. Senyum khas yang sering dilihat oleh Lola. “Rasa tak bisa dipaksakan. Kalau nggak suka, lebih baik bilang nggak suka. Dan rasa itu sama sekali tak bisa ditutupi bagaimanapun caranya.”
Lola menghela nafas panjang. Dan mengubah posisi hadapnya menatap wajah Ricky yang ada di hadapannya lekat-lekat.
“Apa aku terlalu tinggi, membayangkan kalau kamu nanti jadi pacarku, Rick?” Sontan Ricky tertawa terkekeh mendengar pertanyaan lugu dari mulut Lola. Lola pun menyadari kebodohannya menanyakan hal demikian, ikut tertawa terkekeh. “Maaf, aku ceroboh, terlalu jujur.”
“Bukan ceroboh, La. Tapi kamu memang tidak bisa menutupi rasa itu.” Hening sejenak. “Itu bukan bayangan yang tinggi. Karena itu mungkin terjadi.” Ricky tersenyum penuh misteri. Membuat batin Lola bertanya-tanya. Sebenarnya, Ricky bisa saja mengucapkan saat itu juga, tapi ini belum saat yang tepat, menurutnya. Teng...teng.. Bel masuk telah berbunyi. Mereka berdua berpisah untuk memasuki kelas masing-masing. selama [elajaran berlangsung, keduanya sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada materi yang diajarkan. Mereka lebih sering senyum-senyum sendiri. tak terasa jam pulang tiba, karena ada rapat guru, murid pulang lebih awal. Lola bersiap mengemas buku-bukunya. Saat dia akan berdiri, Amel mendorong pundaknya sehingga terduduk lagi.
“Amel? Kenapa?”
“Jangan pura-pura bodoh, La. Jauhi Ricky!”
“Kenapa aku harus melakukannya?”
“Dia tidak cocok bersamamu! Sadar diri, dong!” Amel melakukan gertakan. Tiba-tiba, dari arah belakang,
“Dia tak harus menjauhiku. Kalaupun dia yang menjauh, aku yang mendekat. Ayo, La. Kita pulang.” Ricky meraih tangan Lola dan membawanya serta. Wajah amel merah padam. Malu, kesal, dan marah. Bagaimana tidak, kejadian itu dilihat anak-anak satu kelas.
“Rick, maksudnya kalau aku menjauh, kamu yang mendekat? Itu apa?” Tiba-tiba Ricky mengusap rambut Lola dengan pelan.
“Dasar, polos. Maksudnya, ya, aku yang mengejarmu. Mengejarmu sampai dapat.” Ricky dan Lola terkekeh lagi. Entah apa yang lucu, tapi yang jelas mereka tertawa bersama. Hari ini hari Sabtu. Biasanya anak muda pergi untuk nongkrong atau sekedar menghabiskan waktu di mall. Ricky punya rencana lain. Malam harinya, tepat pukul 19.00, dia menjemput Lola. Lola sudah mempersiapkan diri. Dengan kaos t-shirt pink yang tidak terlalu ketat. Celana jins panjang dan jaket.
“Waw, kamu kelihatan beda. Terlihat lebih ...”
‘Gaul?” Keduanya tertawa bersamaan. Ricky melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Selama perjalan Lola selalu menanyakan dimana tujuan mereka, namun Ricky enggan menjawabnya. Benar-benar membuat Lola penasaran. Akhirnya mereka tiba disuatu tempat yang asing bagi Lola. Tempatnya sedikit gelap dan sepi.
“Kita mau ngapain di sini, Rick? Gelap-gelapan begini.”
“Ssst, sekarang kamu tutup mata. Dan jangan berani-berani untuk mengintip. Aku yang akan menuntunmu berjalan. Kamu percaya aku, kan?”
“Kamu ngomongnya panjang banget, Rick. Iya, aku percaya.” Lola lalu menutup matanya. Mereka berdua jalan berdampingan. Lola memegang lengan Ricky agar tidak tersandung dan ricky menuntunnya dengan hati-hati. Memang agak sedikit licin mungkin sisa hujan kemarin. Langkah Ricky berhenti. Lola pun berhenti.
“Udah sampai?” tanya Lola yang masih menutup mata.
“Sebentar. Kamu diam dulu. Aku ke depan sebentar. Jangan buka mata.”
“Eh, awas jangan macam-macam.” Ricky berjalan ke depan. Meninggalkan Lola yang masih menutup matanya.
“Kamu dengar suaraku, La?”
“Iya, Rick. Tapi jauh.”
“Kamu bisa jalan kesini? Tapi , mata kamu harus tetap tertutup. Ikuti saja suaraku.” Lola menghela nafas. Dia mengambil langkah pertama. Dia berjalan menuju suara Ricky yang menyebutkan namanya berulang kali. Kadang samar. Kadang jelas. Dia berhenti sejenak, bukan menyerah. Dia mengambil nafas lagi dan mulai melangkah. Tap..tap..tap.. Lola berhenti. Dia merasakan di depannya ada hembusan kecil dan suara ...
“Lola...” Lola berhasil sampai. “Kamu boleh buka mata.” Dan benar. Keduanya saling berhadapan. Lalu Lola mengerjap-kerjapkan matanya yang masih gelap. Dan dia melihat pemandangan yang luar biasa. Lampu-lampu berkelip-kelip. Ada sebuah meja makan beserta dua buah kursi dan makanan.
“Ricky?”
“Iya? Ini buat kita. Kan mau ngerayain kabar gembira semalam. Oh,ya, kamu bisa sampai di depanku, bagaimana?”
“Merasakan. Aku tadi sempat mau menyerah. Tapi, aku nggak mau.”
“Kenapa?”
“Harus dijawab?” Keduanya terkekeh lagi.
“Lola, aku sayang sama kamu. Kamu mau, jadi pacar aku? Hmm...untuk saat ini pacar. Tapi untuk kehidupan kedepan, kamu mau menungguku untuk melamarmu?” Lola tiba-tiba menjitak kepala Ricky.
“Dodol. Kita masih kecil. Kok udah bahas melamar.”
“Kan rencana, Sayang. Ups. Kamu kan belum jawab, ya.” Ricky menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Jawabannya. Iya. Aku mau, Ricky jelek.” Lola melonjak merangkul leher Ricky karena dia lebih tinggi. Ricky mencium kening Lola dengan lembut. Kemudian mereka melanjutkan dengan makan malam. Kini mereka adalah sepasang kekasih. Dan disatukan oleh rasa yang sama. Inilah kekuatan rasa. J happi ending dong ^^


1/03/2013
nim -