Kulangkahkan kakiku menuju sebuah
ruangan yang merupakan neraka, ya, kelasku. Entah kenapa, semenjak aku
menyaksikan hal itu, aku benar-benar teramat membenci ruangan ini. Sudah
sebulan yang lalu sebenarnya. Tapi, semuanya masih menempel erat dalam memori
otakku.
Pada waktu itu, tepat pelajaran
olahraga. Seluruh teman-temanku sudah bersiap di lapangan. Tiba-tiba, aku
teringat akan sesuatu, aku lupa dengan ikat rambutku. Rambut panjangku ini
benar-benar merepotkan. Aku kembali ke kelas dan menyaksikan sebuah adegan yang
tak kuharapkan. Sosok cowok yang ku kenal sebagai pacarku sedang melumat bibir
seorang cewek yang ku ketahui dia adalah sahabatku. Mereka terlalu asik dengan
dunianya. Sehingga kehadiranku tidak disadari oleh mereka. Tanpa membuat suara,
aku segera berlari meninggalkan ruangan itu.
Sat berlari aku tak berhenti
mengumpat tertahan karena isak. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang
baru saja kulihat. Dua orang yang ku sayang dengan tega melakukan hal ini
padaku. Ke kamar mandi. Aku lampiaskan semua tangisku. Aku pukul dinding kamar
mandi, tak peduli tanganku sendiri yang terluka, memerah. Pelajaran olahraga
usai, semua anak kembali ke kelas.
Tanpa merasa berdosa, cowok
menjijikan itu menghampiriku.
“Sayang, kamu tadi ke mana? Nggak
ikut olahraga? Aku hubungin hape kamu pun nggak diangkat?” Ketika dia hendak
menyibakkan rambutku, aku menepis tangannya dengan keras, bahkan dia akan
terasa sakit. Kemudian aku menatapnya dengan tajam. Masih terlihat mataku
sembab karena menangis.
“Jangan pernah panggil aku sayang
lagi. Aku jijik sama kamu! Sekarang, kita selesai, Dimas. Kita putus!”
Tampaknya dia tidak terima dengan keputusanku yang sepihak ini.
“Kamu kenapa, sih? Apa yang aku
lakukan?”
“Masih perlu penjelasan?” Dia mengangguk.
Aku segera berjalan cepat menuju bangku seorang cewek yang kusebut teman dan
menariknya dari kursi dimana dia duduk. Lalu kuseret dia menuju ke hadapan
Dimas. “Masih butuh penjelasan lagi, hah?! Kalian berdua sosok menyedihkan!
Kamu, aku sudah mencoba untuk mencintai kamu dengan segenap apa yang kumiliki,
tapi apa yang kudapat? Dan kamu, kupikir kamu adalah temanku, yang selalu ada
buat aku, tapi, harus begini? Pengkhianatan?” Aku sampai tersengal mengeluarkan
kata-kata tersebut dari mulutku. Nafasku menderu dan tak ada airmata lagi. Aku
kembali mengingat adegan itu, dadaku nyeri.
Mereka berdua tertunduk. Malu?
Mungkin.
Sebelum aku beranjak meninggalkan
mereka, aku berbalik dan berujar,
“Semoga kalian bahagia.”
Teng...teng..teng... Dentang bel terdengar, tandanya pulang telah tiba. Seluruh
anak berhambur.
Itu sudah sebulan lalu. Tapi, luka
ini belum benar-benar sembuh. Karena aku masih bisa melihat dua sosok yang
menyedihkan itu di sana. Akibat dari peristiwa itu, aku sekarang lebih
berhati-hati dengan cowok. Aku menutup diri dari mereka. Bukannya sombong, aku
termasuk cukup populer di sekolah. Bukan karena kecantikan, tapi karena
kejeniusanku di dalam bidang pelajaran. Dan untungnya aku tak terlalu buruk
rupa.
Saat ku masuki kelas, aura berubah
seketika. Dua orang itu sedang duduk bersama. Masa bodoh. Kadang aku berpikir,
kalau kejadian itu terulang lagi, aku tidak akan berlari dan menangis, justru
akan memberi mereka tepuk tangan yang meriah. Aku menyesal menangis untuk
mereka. Sudah, cukup, buka buku baru.
Karena terlalu berhati-hati, aku
sering tak acuh dengan perhatian cowok yang diberikan kepadaku. Aku hanya
menganggap mereka ‘orang baik’. Ada satu cowok yang membuatku sedikit
bersimpati. Dia sama sekali tidak pernah menyapaku ketika aku melintas.
Padahal, teman-temannya berebut untuk mengucap salam padaku. Misterius. Hal itu
membuatku semakin penasaran.
Akhirnya aku mengetahui siapa
namanya. Darwin. Nama yang keren. Dia masih satu angkatan denganku hanya
berbeda jurusan. Pada suatu kesempatan, aku menjumpainya sedang duduk sendiri
di taman sekolah seraya memegang buku ditangannya. Dia membaca buku itu sangat
serius hampir tidak menyadari kehadiranku yang sudah duduk di sampingnya.
“Hai.” sapaku dengan wajah tak
bersalah. Dia menoleh sebentar lalu kembali lagi menekuni bukunya. Aku paling
benci dengan hal seperti itu. Aku menghela nafas panjang, dengan berani aku
merebut buku yang berada di tangannya. Dia kaget.
“Balikin bukunya.”
“Huft, nggak mau. Orang disapa
baik-baik. Malah dicuekin.” Aku mengomel.
“Balikin bukunya kubilang.”
“Nggak ngehargai orang sama sekali.
Dasar jahat!” Kulempar bukunya dan aku langsung pergi. Asli, tengsin. Baru kali
ini ada cowok kayak gitu. Aku menatap kaca dan kemudian aku mengumpat untuk
diriku sendiri.
.....
Sepulang sekolah, seperti biasa aku
menunggu jemputan. Jam tanganku sudah menunjukkan angka 5. Belum terlihat juga.
Padahal cuaca sedang mendung dan sebentar lagi akan ... BRESS. Belum selesai
membatin, hujan deras mengguyur. Gerbang sekolah sudah dikunci, baterai hape
habis. Lengkap.
Brum... Ada motor berhenti di
depanku. Aku mendongakkan kepala. Darwin!
“Buruan naik, kamu nanti membeku di
sini.” Aku cuma bengong saat dia mengajakku untuk naik di motornya. Tak
tahunya, dia menarik tanganku untuk segera membonceng dibelakang. Aku akhirnya
naik motornya, dia menutupi badanku dengan jas hujan. Kami berdua melintasi
hujan. Tanpa kuduga, dia menarik tanganku supaya memegang pinggangnya.
“Pegangan, nanti kamu jatuh.” Tanpa
menolak, aku melakukannya. Akhirnya motor berhenti. Aku membuka jas hujan dan
ternyata sudah sampai di rumahku. Hujan sudah mulai agak reda.
“Kamu tahu rumahku, Win?”
“Iya, aku tahu.” Pertanyaan
menyelimuti benakku.
“Darimana?”
“Aku sudah cukup lama mengawasimu.
Sudah, kamu masuk sana. Kamu basah kuyup.” Tanpa sempat mengucapkan
terimakasih, dia langsung melesat pergi dengan sepeda motornya. Sekarang
diotakku terngiang dengan jawabannya ‘aku sudah cukup lama mengawasimu’.
Mengawasi? Apa dia menyukaiku? Tunggu dulu, Sya. Nggak boleh ge-er. Aku memasuki
rumah dengan perasaan campur aduk.
Benar saja, setelah aku mandi, aku
mengomel pada orang yang bertugas menjemputku, yaitu kakakku sendiri yang
ternyata asik tidur di kamarnya. Tega membiarkan adiknya kehujanan. Untung ada
dia. Ah, aku ingat dengannya lagi.
Dret...dret... hapeku bergetar. Ada
satu pesan masuk. Dari nomor yang tak kukenal, bunyinya,
Sehat kan? Nggak kedinginan? Maaf tadi aku cuma bawa satu jas hujan
Aku langsung tersenyum melihat sms
itu. Kaku banget kesannya. Dengan lincah aku memainkan jariku menekan tuts-tuts
keyboard hapeku.
Kamu pikir aku lemah? Aku cukup kuat buat menghadapi hujan. Oh ya, btw,
terimakasih tumpangannya. Kamu kayak pangeran berkuda yang datang nolongin aku.
Wkwk .
Tak lama kemudian ada balasan lagi.
Berkuda? Berkuda hitam? Lain kali bawa payung paling nggak. Kamu memang
bukan cewek lemah. Kamu cewek kuat yang pernah aku kenal. Oh ya, kita belum
berkenalan.
Membacanya balasannya, aku tak tahan
untuk tertawa. Tapi dahiku juga berkerut, dia bilang aku cewek kuat. Sejauh apa
dia tahu tentangku. Aku membalasnya,
Kuda poni hhehehe :D. Tapi aku bukan samson loh. Ah, kamunya aja somse,
disapa malah diacuhin. Aku Raisya.
Lima menit, sepuluh menit, belum ada
balasan. Aku hanya mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali duduk kemudian
berdiri lagi. Dret...drett... Akhirnya,
Maaf, baru selesai mandi. Kamu itu lebih dari wonder woman. Maaf, aku
memang begitu. Pemalu. Aku tau siapa kamu, aku udah bilang tadi, aku udah cukup
lama mengawasimu.
Sms berlanjut sampai menghantarku ke
alam mimpi. Esok paginya, entah kenapa aku lebih semangat untuk masuk ke
sekolah. Dan aku melupakan keasaman yang ku alami di sekolah. Seperti kepompong
yang berubah jadi kupu-kupu, aku merasakan semangat baru. Apalagi kalau
mengingat sms terakhir dari dia.
Selamat istirahat, princes. Ups. :D, sampai ketemu besok di sekolah.
Jangan lupa bawa payung.
Aku pergi sarapan dengan bahagianya.
Kakakku dan kedua orangtuaku sampai dibuat bingung dengan tingkahku di pagi
hari ini.
“Ca, kamu sehat?”
“Enggak. Ica nggak sehat. Ini
gara-gara kakak ngebiarin aku kehujanan. Huh!” Aku memberikan ekpresi wajah
sebal tapi kemudian tertawa terbahak ketika melihat ekspresi kakakku yang
merasa bersalah. “Engga, Kak. Ica dalam kondisi sehat. Ya kan, Ma? Pa? “ Ica
adalah panggilanku sehari-hari di rumah.
Sampai di sekolah, aku membuka tasku,
ada sebuah payung yang kubawa atas saran dari dia. Pelajaran pertama, kedua,
ketiga, keempat, dan akhirnya istirahat. Dret..dret.. Hapeku bergetar.
Ayo makan sini. Aku tunggu dikantin ya, princes.
Mulai saat itu, kejadian hujan, aku
dan dia semakin dekat. Dan dia mulai berani menunjukkan perhatiannya di
sekolah. Dia sering bermain ke kelasku dan sebaliknya. Seluruh sekolah gempar
mendengar aku dekat dengan Darwin. Satu kenyataan yang baru aku ketahui,
ternyata Darwin sangat populer dikalangan para cewek-cewek di sekolah. Semua
cewek mendadak menatapku dengan geram. Seolah-olah mereka ingin meremas wajahku
dan menginjak-injaknya.
Suatu sore, dia mengajakku di sebuah
taman kota yang hampir tak pernah ku kunjungi. Aku memang jarang pergi keluar
rumah kecuali ada keadaan yang mendesak. Dia menyodorkan sebatang gulali
kepadaku.
“Ca, aku mau ngomong.”
“Ngomong aja, Win.” Aku sambil
menjilat gulali itu pelan-pelan supaya tidak belepotan. Dia meraih satu tanganku
yang sedang menganggur dan membuat aku berubah posisi duduk, menghadap ke dia.
“Ca, aku minta maaf dulu sebelumnya.
Aku memang udah lama ngawasin kamu. Dari kamu masih sama Dimas. Aku tahu semua.
Kamu waktu itu nangis. Aku sudah lama suka sama kamu, tapi aku terlalu pengecut
buat bilang. Dan akhirnya Dimas duluan yang menyatakan cinta.” Jadi selama ini,
Darwin memendam semuanya? Hebat. “Aku sempat untuk berhenti suka sama kamu.
Tapi, nggak bisa. Sewaktu tahu kamu putus sama Dimas, aku senang, tapi aku
takut kalau kamu nolak aku. Makanya aku ngacuhin kamu terus. Tapi, sewaktu
hujan, aku lihat kamu sendiri, aku coba buat beraniin diri. Dan sampai
sekarang.”
Hampir saja aku menjatuhkan gulali
yang ada di tanganku satunya. Dia memang sosok yang lembut. Sudah dua bulan aku
dekat dengannya. Sudah banyak tempat yang kami kunjungi, kecuali taman ini. Dia
pun sudah akrab dengan keluargaku. Bahkan aku sudah diajak ke rumahnya dan
membantu mamanya membuat kue.
“Dekat sama kamu, itu sesuatu yang
kuanggap mimpi, dulu. Tapi, sekarang, aku bisa sama-sama kamu terus. Walaupun
cara kita dekat bener-bener konyol.” Kami berdua terkekeh membayangkan pertama
kali dekat. Hanya gara-gara hujan. Kami dekat tapi belum ada ikatan.
“Win, kamu adalah sosok cowok yang
berani menurutku. Dari sekian yang suka sama aku aja kalah. Cuma kamu yang
berani nolongin aku. Kamu yang datang bantuin aku. Dan aku nggak peduli soal
dari kapan kamu mengawasiku. Kamu bukan pengecut. Aku aja yang kurang peka.
Sampai akhirnya aku yang sakit. Dan kamu sosok cowok yang sukses buat aku
penasaran dengan sikap acuhmu itu.” Aku memberikan senyum terbaikku untuk dia.
“Raisya Octa Wijaya, kamu mau jadi
pacar aku?” Aku berpura-pura berpikir. Dahiku kukerutkan sehingga membuatnya timbul
tanda tanya besar. Apa jawabanku. Apa aku meragukannya.
“Darwin Putra Sentosa, maaf ya ...”
Dia tertunduk lesu. “...aku nggak bisa menolakmu. Karena aku pengen kamu jadi
pacarku juga. Hehe.” Aku puas membuatnya deg-deg an. Puasssss! Dia langsung
memelukku erat. Tak lama kemudian, hujan mengguyur sedang.
“Lihat, hujan udah mempertemukan
kita. Dan hujan menyatukan kita.” Aku membalas pelukannya. Dalam hatiku
berkata, terimakasih hujan.